18 November 2007

Mendambakan Terwujudnya Pendidikan yang Membebaskan

[Refleksi Soal Pendidikan di Indonesia]

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

Seorang ahli poling dan riset terkenal Samuel Lubell pernah berdebat dengan seorang filsuf dan fotografer Birmingham Alabama, Rick Garlikov tentang topik pedagogi khususnya mengenai pentingnya subyek pengetahuan dan teknik pengajaran. Lubell memulai dengan suatu pernyataan: “there's a reason why teachers need courses in teaching that are separate from their courses in English or mathematics. And when people are brought into the classroom without this training, their subject matter knowledge doesn't help them."

Menanggapi pernyataan Lubell itu, Garlikov mengatakan: "you are assuming nothing can be learned, and no skills developed, without a course that is taught by someone else. That is often not true. My point is not that all people with knowledge can teach; but that those who can, and who can demonstrate they can, should not have to take courses in order to begin a teaching career."

Lubell kembali menyerang Garlikov dengan menjelaskan: “of course, ideally a teacher should have extensive subject matter knowledge, the ability to emphasize [empathize] with others, and training in teaching methods. However, a very skilled teacher could teach a course in something he or she knows little about, by requiring students to go out and do their own research and teach the teacher."

Namun Garlikov dengan tegas mengatakan: "if this is teaching, we don't need schools; just libraries and assignments. I thoroughly disagree with this. It is NOT teaching."

Membaca dialog di atas, kita mungkin akan terbawa pada diskusi tentang pentingnya pendidikan untuk memperoleh pengetahuan. Samuel Lubell berpendapat seorang guru (pengajar) harus mendapat pendidikan tentang teknik mengajar agar bisa mengajar sehingga anak didik bisa terbantu untuk memperoleh pengetahuan. Tanpa pengetahuan tentang tata cara mengajar, seorang guru tidak mungkin bisa mengajar dengan baik anak didik atau muridnya.

Namun, bagi Rick Garlikov apa yang dikatakan oleh Samuel Lubell itu memang sudah dipahami dan sudah dipikirkan oleh semua orang. Rick lebih jauh menilai, seseorang bisa mengajar tanpa harus mengkuti pendidikan tentang tata cara mengajar. Seseorang bisa saja melakukan sesuatu tentang apa yang dia miliki tanpa harus memiliki pengetahuan tentang teknik mengajar.

Perdebatan Lubell dan Garlikov terjadi karena masing-masing mereka melihat pengajaran itu secara berbeda. Lubell mereduksi pengajaran atau pekerjaan mengajar yang dilakukan guru itu khusus pada pendidikan formal. Karena itu seorang guru harus dibekali dengan pengetahuan tentang mengajar. Namun, Garlikov tidak menilai tugas mengajar itu hanya dilakukan guru. Tugas itu bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa harus mendapat keterampilan mengajar lewat pendidikan formal. Garlikov di sini mencoba untuk melihat pendidikan itu secara komprehensif, baik formal, informal maupun nonformal.

Namun demikian, keduanya melihat pendidikan formal itu sangat penting. Kendatipun masih ada pola pendidikan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya.

Berbicara tentang pendidikan, kita teringat seorang penulis dan pejuang terkenal yakni Paulo Freire. Paulo Freire mulai terkenal luas ketika ia menulis buku: Pedagogy of the Oppressed (1972) yang cukup berpengaruh terhadap perubahan sosial politik di Amerika Latin. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang itu, kemudian tersebar luas ke beberapa negara seperti Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Asia. Di Indonesia, hasil karya Paulo Freire itu dikemas dengan judul: Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES:1985).

Dalam karya lainnya: Pedagogy of the City, Paulo Freire menggambarkan keterpurukan dunia pendidikan di Brasil pada awal dasawarsa 1990-an. Jutaan penduduk Berasil tidak bisa melanjutkan pendidikan anak-anaknya karena terbelenggu oleh biaya pendidikan yang semakin melejit. Orang-orang yang bertahan di sekolah adalah orang-orang yang berasal dari kelas elit yang tidak mengalami kesulitan dengan keuangan. Akibatnya, banyak sekolah yang kosong karena ketiadaan siswa. Jumlah gedung sekolah yang layak pakai pun semakit merosot. Selama dasawarsa tahun 1990-an itu sekitar lima puluh bangunan sekolah yang mengalami rusak parah, dan aliran listrik terputus.

Paulo Freire juga menyoroti sistem kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah. Ia menilai kurikulum pendidikan terkesan menciptakan jurang pemisah di antara komunitas kelas, yang mayoritas datang dari pekerja miskin. Misalnya, evaluasi terhadap siswa berpedoman pada intelektualitas, yang mewajibkan membaca buku-buku. Padahal mereka lebih banyak bergaul dengan realitas konkret daripada bergumul dengan buku-buku yang sulit didapatkan.

Situasi itulah yang memicu Paulo Freire untuk mengubah peran sekolah-sekolah negeri di Brasil. Ia menilai, sekolah negeri yang sebenarnya bisa dijadikan wadah untuk mengakomodasi kaum tertindas dan miskin namun kenyataan sebaliknya dijadikan tempat yang aman bagi kelompok kaya. Karena itu ia menegakan program pendidikan progresif. Pendidikan progresif dibangun oleh Freire untuk dijadikan medium pendidikan kesadaran kritis, di mana para siswa berani membuka mulut, mengasah pikiran, dan mampu menuangkan daya pikirnya untuk melahirkan karya-karya kreatif dan cerdas.

Bagi Freire, kurikulum yang diterapkan di sekolah, prasarana gedung-gedung sekolah, sarana belajar, pengajar, merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam mendukung program pendidikan progresif. Ia menilai pendidikan harus dapat dijadikan sebagai alat pembebasan yang meletakan manusia pada martabat kemanusiaanya. Karena itu pendidikan harus ditempatkan dalam konfigurasi memanusiakan manusia, yang merupakan proses tanpa henti dan berorientasi pada pembebasan manusia. Pendidikan juga harus melepaskan diri dari hegemoni dan dominasi, sebab kalau tidak, pendidikan tidak akan pernah mampu membawa rakyat pada pemahaman diri dan realitasnya secara utuh. Sebaliknya ia akan membawa rakyat pada situasi beku dan miskin kreativitas. Pendidikan pembebasan merupakan pengukuhan manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan berpotensi man of action.

Apa yang digambarkan oleh Paulo Freire di Brasil pada dasawarsa 1990-an kini sedang terjadi di Negara Republik Indonesia. Setiap tahun ajaran baru, para siswa dan orangtua menjerit karena mahalnya biaya sekolah. Selain itu, banyak gedung sekolah yang tidak layak pakai terdapat di mana-mana bahkan di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota Negara RI, DKI Jakarta. Sebuah ironi besar, di era setengah abad lebih Indonesia merdeka, wajah pendidikannya masih buram. Angka putus sekolah semakin bertambah, penggangguran semakin meningkat, dan jumlah penduduk buta aksara tidak mengalami penurunan yang signifikan.

Abdul Malik Fadjar pada saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional pernah mengatakan bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia berbanding terbalik dengan perubahan yang terjadi di luar. Perubahan di luar jauh lebih cepat dibandingkan dengan di dalam dunia pendidikan itu sendiri. Manajemen pendidikan pun masih terkesan kaku dan tidak sepenuhnya menyenangkan bagi peserta didik.

Malik Fadjar mengakui ada tiga tantangan besar dunia pendidikan ke depan yakni, bagaimana agar hasil yang telah tercapai selama ini tidak hilang; tantangan berat di era globalisasi; dan tantangan untuk demokratisasi dan ekonomi.

Bahkan Malik Fadjar mengkhawatirkan output dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat melihat realitas yang ada di masyarakat karena apa yang didapat di kelas sudah telanjur basi.

Untuk menepis pesimisme itu, pemerintah mengupayakan pendidikan yang berbasiskan broad base education atau pendidikan berbasis masyarakat luas, dengan berbagai pendekatan seperti pendidikan luar sekolah, pendidikan dasar menengah, dan perguruan tinggi. Aksentuasi dari pendidikan semacam ini terletak pada upaya pemberian life skills dan school for work. Untuk mendukung program ini, salah satu upaya yang dilakukan adalah penerapan kurikulum berbasis kompentensi (KBK) yang hasilnya belum terlihat.

Harus diakui, sudah setengah abad lebih dunia pendidikan bangsa kita masih diselimuti kabut tak ubahnya seperti benang kusut. Pendidikan, belum dirasakan oleh masyarakat sebagai alat pembebasan dari kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan. Semakin melangitnya biaya pendidikan, membuat masyarakat miskin hanya bertopang dagu menonton anak-anak orang kaya setiap hari pergi ke sekolah untuk menikmati pendidikan. Pendidikan seakan menjadi milik anak-anak orang berduit saja. Lalu, amanat UUD 1945 Pasal 31 yang menyatakan semua warga negara berhak dan wajib mendapat pendidikan dan pengajaran hanya sebuah hiburan kosong atau mimpi belaka (utopia)?

Lalu di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Yusuf Kalla, upaya untuk memberikan perhatian yang serius demi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia terus digulirkan. Pendidikan gratis untuk anak sekolah dasar (SD) melalui program Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) yang diberikan melalui program beasiswa untuk anak dari keluarga miskin yang mampu secara akademis mulai dicanangkan. Pertanyaannya, bagaimana upaya meminimalisasi terjadinya penyelewengan dan penyimpangan dalam implementasi program itu sehingga tujuannya bisa tercapai? Lalu bagaimana dengan program KBK yang belum diimplementasikan di semua sekolah di Indonesia?

Dambaan atau cita-cita untuk terwujudnya pendidikan yang membebaskan memang harus diakui masih jauh dari panggangan api. “Mau pintar kok mahal,” adalah sebuah selentingan yang patut dijadikan bahan permenungan oleh seluruh elemen bangsa ini. ***


Jargon Politik Pendidikan Gratis di Banten

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

Program pendidikan gratis dipakai oleh semua calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai jargon politik. Ketika calon bersangkutan terpilih menjadi kepala daerah, program pendidikan gratis yang dikoar-koarkan dengan entengnya dilupakan. Hal seperti ini terjadi di berbagai daerah, termasuk di Provinsi Banten.

Ada beberapa kabupaten di Provinsi Banten yang sering mengumbar jargon politik pendidikan gratis, antara lain di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang. Faktanya, masih banyak sekolah yang memungut dana bangunan kepada siswa baru, walaupun kebanyakan warga masih dililit kemiskinan parah.

Kabupaten Serang, misalnya, begitu gencar menyosialisasikan program bebas biaya pendaftaran siswa baru (PSB) untuk sekolah negeri mulai dari tingkat SD sampai SLTA, tahun 2007 ini, namun masih banyak sekolah yang memungut biaya. Pendidikan gratis yang digembar-gemborkan oleh kepala daerah hanya jargon politik untuk menarik simpati masyarakat. Namun, dalam praktiknya, kosong!

"Kalau memang benar Bupati Pandeglang H Acmad Dimyati Kusumah memiliki komitmen dengan program pendidikan gratis, seharusnya tidak ada lagi pungutan di sekolah-sekolah. Faktanya, orangtua siswa masih juga dipungut uang pembangunan dan lain-lainnya," tutur Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pandeglang, Lukman Hakim.

Menurut Lukman, apa pun bentuk pungutan, baik untuk pembangunan gedung sekolah maupun penyediaan sarana dan prasarana lainnya, merupakan pelanggaran. Apa gunanya dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang diberikan pemerintah setiap tahun. "Untuk apa ada BOS kalau setiap sekolah masih membebani siswa dengan sejumlah pungutan," ujarnya.

Lukman mengaku pesimistis pada rencana Bupati menjadikan Kabupaten Pandeglang sebagai kota pendidikan. Sebab, selain belum tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, rencana ini juga belum didukung pelaku pendidikan. "Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun merupakan hak masyarakat, tapi kenapa harus ada kewajiban membayar," ucapnya.

Di SDN 3 Pandeglang, paparnya, setiap orangtua siswa diwajibkan membayar uang pembangunan sebesar Rp 350.00. Hal ini tentu sangat memberatkan masyarakat. Namun, ironisnya, kata Lukman, kebijakan sekolah seperti ini didukung oleh Dinas Pendidikan Pandeglang.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Pandeglang Taufik Hidayat menegaskan, pungutan dana pembangunan oleh sekolah sah-sah saja, yang penting ada keikhlasan dari orangtua siswa yang diputuskan dalam musyawarah. Namun, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Kecamatan Pandeglang Dadi Wahdi HD menilai, hal itu melanggar aturan. Alasannya, pembangunan gedung dan penyediaan sarana dan prasarana sekolah merupakan tanggung jawab pemerintah.

"Lalu manfaat dana BOS untuk apa? Pendidikan gratis yang dikatakan Bupati Pandeglang, mana buktinya? Kami akan terus mendesak agar persoalan pungutan di sekolah-sekolah di Pandeglang segera diatasi," ujar Lukman.

Harus Beli Buku

Persoalan pungutan terhadap siswa ini juga terjadi di Kabupaten Lebak. Di SDN 01 Kadu Agung Timur, Kecamatan Rangkasbitung, Lebak, sekolah mewajib-kan siswa membeli buku seharga Rp 150.000 sampai Rp 170.000. Pertanyaannya, dana BOS yang diberikan oleh pemerintah setiap tahun digunakan untuk apa?

"Katanya sekolah SD gratis, dan ada bantuan dari pemerintah. Namun kenyataannya, siswa tetap disuruh membeli buku. Apa-lagi harga buku itu sangat tinggi," tutur Mahmud, yang anaknya sekolah di SDN 01 Kadu Agung Timur.

Keluhan dan keberatan atas buku-buku tambahan yang harus dibeli siswa sudah berulangkali disampaikan oleh para orangtua siswa, termasuk mengadukan ke komite sekolah, namun hingga saat ini penjualan buku oleh sekolah tidak pernah berhenti. "Kami sudah menyampaikan hal ini kepada komite sekolah untuk membantu menyampaikan keberatan kami, tapi sepertinya saran komite sekolah juga diabaikan oleh sekolah dan para guru," katanya.

Ketua Komisi B DPRD Lebak, Hezi Faudu Zebua, mengakui, pihaknya sudah menerima pengaduan lisan tentang adanya keharusan pembelian buku kepada siswa di sejumlah sekolah di Lebak, dan berjanji akan segera menyelesaikan persoalan itu. Ia berpendapat, adanya kewajiban untuk membeli buku tambahan bisa saja dilakukan atas dasar kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan siswa.

"Namun hal itu harus didasarkan pada hasil kesepakatan dengan seluruh wali murid, disertai kebijakan subsidi silang dari sekolah. Program pemerintah melalui dana BOS sudah sangat bagus, begitu juga program dari Pemkab Lebak. Ini tidak boleh dikotori oleh sekolah atau oknum guru yang hanya mencari keuntungan" ucapnya.***

Menerapkan Metode “Active and Participative Learning” untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

UPAYA peningkatan mutu pendidikan baik di tingkat basic education maupun di tingkat perguruan tinggi di Indonesia sudah saatnya diperhatikan secara lebih intensif. Perhatian terhadap kualitas pendidikan tentu sangat beralasan karena realita sosial yang ada di Indonesia baik itu fenomena semakin meningkatnya angka pengangguran akibatnya kurangnya skill karena sebagian besar output pendidikan kurang berkualitas, maupun angka putus sekolah atau dop out semakin banyak. Memang harus diakui, persoalan di bidang pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Namun, di sini kita tidak mengupas persioalan itu secara detail. Kita coba melihat problem pendidikan di Indonesia ditinjau dari kualitasnya.

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, baik itu menyangkut materi pembelajaran yang selalu di-update maupun kurikulum yang digunakan selalu disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. Namun, upaya peningkatan kualitas materi pembelajaran dan kurikulum tanpa diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga pengajar serta pengadaan sarana dan prasarana yang memadai, tentu tidak akan membawa dampak perubahan dan kemajuan yang signifikan di bidang pendidikan di Indonesia. Kurikulum Berbasis Kompentensi (KBK) misalnya, tidak akan mencapai target seperti apa yang diingin tanpa adanya persiapan tenaga pengajar yang qualified dan sarana dan prasarana penunjang kurikulum tersebut. Sehingga, hasilnya pun akan tetap sama. Dunia pendidikan Indonesia tetap carut-marut, dan persoalan di sektor pendidikan tidak akan selesai.

JICA

Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, Pemerintah Indonesia telah menjalin kerja sama dengan beberapa negara seperti Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) dengan program Regional Education Development & Improvement Program (REDIP). Program ini terselenggara atas kerja sama dengan Pemerintah Jepang.

Program kerja sama dengan JICA ini dimulai sejak 1999 sampai 2001 atau disebut REDIP1, serta dilanjutkan REDIP2 yang dimulai tahun 2002 sampai 2004. Program REDIP ini telah dilaksanakan di dua provinsi yakni Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Sulawesi Utara.

Tujuan program REDIP yakni merumuskan rencana strategis dan program aksi guna menghilangkan ketimpangan kuantitatif dan kualitatif dalam bidang pendidikan sekolah lanjutan pertama dengan menekankan pembangunan kapasitas administrasi pendidikan sejalan dengan desentralisasi serta pemberdayaan masyarakat berdasarkan manajemen berbasis sekolah. Selain itu membantu memperkuat kemampuan perencanaan pendidikan dari pejabat pendidikan Indonesia melalui implementasinya.

Program REDIP terdiri dari dua komponen yakni komponen tim pengembang pendidikan kecamatan (TPK) dan komponen komite sekolah. TPK berfungsi untuk membantu mengembangkan mutu pendidikan SMP dan MTs di kecamatan dengan mengorganisir kegiatan kelompok kerja kepala sekolah (KKKS), Musyarawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan kegiatan yang bersifat umum.

REDIP mengembangkan mutu pendidikan dengan beberapa pola pendekatan yakni perencanaan dari bawah (bottom up planning) yakni program TPK dan komite sekolah tidak ditetapkan dari atas tetapi berasal dari usulan TPK dan komite sekolah sendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kedua, otonomi, yakni TPK dan komite sekolah memiliki wewenang penuh dalam melakukan identifikasi masalah, penetapan rencana kegiatan maupun pelaksanaannya. Ketiga, manajemen partisipatif yakni peningkatan mutu pendidikan melibatkan seluruh stakeholder (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua, sekolah, masyarakat, tokoh agama, usahawan, pejabat setempat, dan lain-lain. Keempat, transparansi yaitu mengelola program termasuknya besarnya sumber dana dan penggunaan dana dilakukan secara transparan. TPK dan komite sekolah wajib menginformasikan penggunaan dana secara terbuka.

Kelima, akuntabilitas yakni TPK dan komite sekolah wajib memberikan pertanggungjawaban terhadap semua penggunaan dana dan sumbernya dalam laporan keuangan. Keenam, peningkatan mutu pendidikan, meliputi program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh TPK dan komite sekolah harus berorientasi pada upaya peningkatan mutu pendidikan. Selain itu ada beberapa pendekatan lainnya yakni holistic integrative, pemberdayaan masyarakat, keberlanjutan, block grant dan perlakuan yang sama.

JICA dalam melaksanakan tugasnya memberikan bantuan berupa uang dan pendampingan untuk masing-masing TPK dan komite sekolah yang menjadi model. Sekolah yang menerima bantuan tersebut berkewajiban menyediakan dana pendamping yang diperoleh dari masyarakat dan atau usaha lain yang sah. Sementara konsultan lapangan bertugas memberikan bantuan teknisi kepada TPK dan komite sekolah sejak penyusunan perencanaan proposal, pelaksanaan sampai dengan pelaporan.

USAID

Selain bekerja sama dengan Pemerintah Jepang, Pemerintah Indonesia juga bekerja sama dengan Pemerintah Amerika Serikat melalui United States Agency For International Development (USAID) dengan programnya Decentralized Basic Education (DBE) atau desentralisasi pendidikan dasar.

Program DBE ini merupakan bantuan Pemerintah Amerika Serikat di Indonesia untuk peningkatan kualitas pendidikan dasar di sejumlah kurang lebih 200 sekolah di 100 kabupaten/kota di Indonesia dari tahun 2005-2010. Program direncanakan akan dilaksanakan dalam tiga fase yakni fase pertama (2005-2007), fase kedua (2007-2009) dan fase ketiga (2008-2010). Program ini terbuka terhadap semua tipe sekolah yakni sekolah negeri, swasta, sekolah umum, maupun sekolah agama. Program DBE ini tidak memberikan bantuan berupa dana tetapi lebih pada bantuan peningkatan mutu dengan titik penekanan pada tingkat partisipasi siswa, tingkat transisi dan prestasi pendidikan.

Upaya peningkatan kualitas pendidikan lewat program DBE ini didasarkan pada kenyataan bahwa siswa Indonesia selalu mendapatkan nilai rendah saat ujian di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam baik di tingkat internasional maupun regional. Hal ini disebabkan oleh tidak meratanya kualitas belajar mengajar, sistem pengajaran. Diharapkan, dengan meningkatkan pelayanan pendidikan, system pengajaran, dan cara siswa belajar serta keterampilan kerja yang berkaitan dengan keterampilan hidup, pasti akan membawa kaum muda Indonesia ke masa depan yang lebih baik.

Ada tiga target yang ingin dicapai dalam program DBE yakni melaksanakan Management Basic Education (MBE) atau manajemen berbasis sekolah dengan sasaran pemerintah daerah dan masyarakat dapat mengelola pelayanan pendidikan dengan lebih efektif, peningkataan mutu belajar dan mengajar yang dapat memperbaiki kinerja siswa dalam beberapa mata pelajaran pokok yakni matematika, ilmu pengetahuan alam dan membaca. Selain itu, remaja memperoleh keterampilan hidup dan kerja yang lebih sesuai sehingga mampu berkompetisi lebih baik dalam mencari pekerjaan.

Koordinator Program DBE1 untuk Provinsi Jawa Barat dan Banten Dinn Wahyudin kepada Pembaruan seusai penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara USAID dan Pemprov Banten, Jumat (19/8) mengungkapkan dari beberapa provinsi yang sudah dipilih untuk bekerja sama dengan USAID dalam peningkatan kualitas pendidikan dasar, baru Provinsi Banten yang sudah sampai pada tahap penandatanganan nota kesepakatan.

“Beberapa provinsi lain seperti Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Kaltim, dan Sulsel masih dalam proses. Baru Provinsi Banten yang sudah menandatangani MoU. Itu berarti Provinsi Banten menjadi provinsi pertama yang akan memulai program DBE,”jelasnya.

Dinn menjelaskan, program DBE ini lebih menekankan peningkatan kualitas pendidikan lewat metode mengajar yang lebih kreatif, sehingga terciptanya suasana joyful learning, active learning dan partisipative learning.

“Kehadiran DBE lebih pada technical assistant terhadap guru-guru yang mengajar di SD, SMP/MTs. Karena itu, pihak DBE akan melakukan lokakarya, seminar dan workshop untuk memberikan training kepada guru-guru berkaitan cara mengajar yang baik dan benar,” jelasnya.

Ada tiga kabupaten/kota yang menandatangani MoU dengan USAID itu yakni Kota Cilegon, Kota Tangerang dan Kabupaten Lebak. Sementara tiga kabupaten/kota lainnya yakni Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang sudah mengikuti program REDIP dari JICA kerja sama dengan Pemerintah Jepang.

Sementara itu, Program Director (DBE2) Michael Calvano kepada Pembaruan, Jumat (19/8) menjelaskan, kegiatan belajar mengajar dan metode mengajar yang diterapkan di pendidikan dasar di Indonesia masih bersifat satu arah sehingga siswa menjadi pasif.

“Kami akan menerapkan metode mengajar active learning dan participative learning sehingga siswa dirangsang untuk berpikir sendiri dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa diberikan kesempatan untuk memecahkan soal. Karena itu kami akan memberikan pelatihan terlebih dahulu kepada guru-guru sekolah,” jelasnya.

Michael menjelaskan, dalam melaksanakan program DBE, pihaknya akan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan seluruh stakeholder yang ada sehingga upaya peningkatan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama.

“Kami akan menyeleksi sekolah sebagai sekolah gugus yang menjadi pusat pelaksanaan program DBE,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Banten Drs Didie Supriadie MPd menjelaskan, pelaksanaan program DBE itu akan diserahkan kepada kabupaten/kota masing-masing. Pihak USAID akan bekerja sama langsung dengan kabupaten/kota.

“Kami hanya memfasilitasi kerja sama dengan USAID itu.Tetapi program DBE dari USAID ini sangat membantu karena memberikan metode baru dalam pengajaran dan kegiatan belajar mengajar baik di sekolah dasar maupun di SMP/MTs. Selain itu, pihak USAID juga akan menyiapkan sarana berupa laboratorium dalam melaksanakan program DBE itu,” jelasnya.

Menurut Didie, kurikulum yang digunakan dalam program DBE itu tetap mengacu pada program yang ada. Pihak USAID hanya memberikan metode-metode pengajaran yang lebih menekankan peran serta siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Selain itu siswa SMP/MTs akan diarahkan untuk memiliki life skill sehingga bisa mandiri.

“DBE juga akan memperkuat kemampuan siswa SMP/MTs dalam mengembangkan kecakapan hidup dan keterampilan kerja melalui kurikulum muatan lokal, kegiatan ekstrakurikuler berbasis masyarakat dan kegiatan service learning,”jelasnya.***

Biodiesel sebagai Bahan Bakar Alternatif untuk Mengatasi Masalah Energi Nasional

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

KRISIS dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri akhir-akhir ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk mencari solusi dengan mengupayakan pemberdayaan sumber energi alternatif yakni biodiesel sebagai bahan bakar alternatif nasional. Biodiesel merupakan bahan alternatif minyak diesel yang berasal dari tumbuhan. Biodiesel sebagai energi alternatif memang bukan hal baru lagi, sebab di negara lain seperti Malaysia sudah lama menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar aternatif.

Namun, selama ini di Indonesia pemanfaatan biodiesel terkesan masih asing karena kurangnya dukungan pemerintah untuk menggali dan memberdayakan potensi energi alternatif yang ada di Indonesia itu. Persoalan muncul ketika energi fosil semakin langka dan kebutuhan BBM dalam negeri semakin meningkat. Sementara untuk kebutuhan dalam negeri, BBM harus diimpor dari luar. Padahal, sebelumnya Indonesia dikenal sebagai pengekspor minyak namun kini sudah terbalik, Indonesia menjadi importir terbesar untuk energi fosil.

Padahal, jika disimak secara mendalam, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) yang sejak tahun 1957 berada dibawa binaan Departemen Pertanian telah menangani berbagai penelitian salah satunya adalah penelitian komoditas kelapa sawit nasional melalui unit kerjanya Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan.

Bahkan sejak abad XX, PPKS telah menghasilkan berbagai teknologi hulu dan hilir di bidang perkelapasawitan nasional, salah satunya adalah penghasil klon-klon unggul dan bahan tanaman secara luas yang saat ini dinikmati oleh pengelola perkebunan kelapa sawit. Selain itu, dalam rangka mengembangkan dan memperluas industri kelapa sawit nasional, PPKS sejak tahun 1992 telah secara khusus mengembangkan biodiesel minyak sawit (BMS) yang diuji coba sejak tahun 2001, untuk bahan bakar mesin-mesin pertanian dan angkutan barang bersamaan dengan diadakannya seminar internasional biodiesel di Medan. Kemduan pada akhir tahun 2004 lalu, telah dilakukan road test Medan-Jakarta dengan menggunakan BMS B10 (campuran 10 persen BMS dan 90 persen solar) pada kendaraan truk dan penumpang dengan hasilnya yang mengembirakan.

Jika dilihat perkembangan teknologi biodiesel ini, memang harus diakui telah cukup lama dilakukan di Indonesia antara lain dilakukan oleh Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), perguruan tinggi seperti ITB, dan PPKS. Para pelaku dan peminat biodiesel ini sudah membentuk forum tersendiri yakni Forum Biodiesel Indonesia (FBI).

Berbagai penelitian telah diujicobakan, serta kajian kebijakan sebagai persiapan dalam menghadapai tahapan persiapan komersialisasi BMS telah dilaksanakan. Berdasarkan berbagai kajian dan penelitian yang ada, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan bakar alternatif BMS sudah saatnya mulai dikembangkan di Indonesia. Biodiesel sebagai substitusi solar semakin terbuka untuk dikembangkan ketika BBM semakin langka dan harganya semakin mahal di Indonesia. Karena itu pemanfaatan BMS sebagai energi alternatif nasional perlu dipercepat mengingat potensinya sangat prospektif dan menjanjikan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Dr Ir Achmad Suryana MS dalam acara penyerahan bantuan berupa 3.000 liter BMS sebagai uji coba kepada nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) II Teluk Labuan, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, melalui Bupati H A Dimyati Natakusumah, Kamis (11/8) lalu menjelaskan sejalan dengan program pemerintah dalam mendibersifikasi sumber energi dengan energi yang terbarukan, maka pemanfaatan biodiesel perlu dipercepat. Dikatakan bahwa dalam blue print pengelolaan energi nasional, yang dibahas dalam sidang cabinet 3 Mei 2005 lalu ditetapkan bahwa target energi terbarukan tahun 2005 sebesar 10 persen dari total energy mix, dan 1,336 persen di antaranya dari biofuel seperti biodiesel dan bio ethanol.

“Target pemakaian biodiesel untuk tahun 2010 sebesar 0,72 juta kilo liter, tahun 2015 sebanyak 1,5 juta kilo liter dan pada tahun 2025 sebanyak 4,7 juta kilo liter. Untuk merealisasikan target ini diperlukan program yang terintegrasi dari seluruh stakeholder biodiesel,” jelas Achmad.

Ia mengatakan pemberian bantuan BMS kepada nelayan di Labuan, Pandeglang itu merupakan bagian dari implementasi program revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan (RPPK) yang sudah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Juni 2005 lalu di Kompleks PT Jasa Tirta II Jatiluhur, Jawa Barat. RPPK merupakan salah satu dari triple track strategy Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran serta peningkatan daya saing ekonomi nasional.

“Pemberian bantuan pemerintah kepada nelayan melalui Departemen Pertanian sebanyak 3.000 liter biodiesel B100 ini merupakan produksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Lembaga Perkebunan Indonesia (LPI). Bantuan biodiesel minyak sawit murni (B100) kepada nelayan ini masih akan diuji kinerjanya pada berbagai motor nelayan dengan kapasitas beragam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui PPKS akan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan uji coba biodiesel tersebut, dan akan memakai data hasil pengujian tersebut sebagai dasar rekomendasi pengembangan biodiesel di kemudian hari. Dalam masa uji coba ini pemakaian BMS sebagai energi alternatif tidak digunakan 100 persen tetapi dicoba secara bertahap yakni mulai dari 10 persen BMS dicampur dengan solar, kemudian ditingkatkan menjadi 20 persen BMS dicampur dengan 80 persen solar sampai pada tingkat campuran 30 persen BMS dan 70 persen solar,” jelasnya.

Menurut Achmad, dalam kondisi Negara kita yang sedang menghadapi berbagai kesulitan dalam masalah energi, biodiesel ke depan akan menjadi sangat potensial sebagai sumber energi alternatif nasional yang ramah lingkungan. Ia menjelaskan, produksi minyak bumi Indonesia yang telah mencapai puncaknya pada tahun 1977 yaitu sebesar 1,7 juta barel per hari terus menurun hingga tinggal 1,125 juta per hari pada tahun 2004. Namun, di sisi lain konsumsi minyak bumi terus meningkat dan tahun 2004 lalu tercatat 1,0362 juta per hari.

“Kondisi ini menyebabkan Indonesia saat ini menjadi Negara net-importer di bidang BBM. Kehadiran teknologi biodiesel diharapkan dapat mengurangi ketergantungan kita pada BBM yang berasal dari fosil yang tidak terbarukan seperti solar, bensin, minyak tanah dan sebagainya. Harga BBM yang semakin hari semakin meningkat mendorong kita untuk mencari sumber energi alternatif yang terbarukan,” jelasnya.

Ia mengungkapkan, sebagai negera penghasil kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia, Indonesia sangat berkepentingan agar dalam waktu dekat BMS dapat menjadi sumber energi nasional. “Kalau kita memperhatikan kecepatan pertumbuhan luas areal kelapa sawit nasional, baik oleh karena perluasan kebun maupun karena peremajaan tanaman tua yang rata-rata sekitar 350 ribu hektare per tahun maka Indonesia ditargetkan memiliki perkebunan sawit lebih dari delapan juta hectare pada tahun 2010. Dampak langsung yang terlihat dari pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit adalah produksi yang akan meningkat secara signifikan,” jelasnya.

Ia berpendapat, untuk mengantisipasi kelebihan pasokan dan penurunan harga crude palm oil (CPO) akibat kelebihan pasokan tersebut, maka diversifikasi produk hilir harus sudah dipikirkan sejak dini. Teknologi biodiesel diharapkan di satu sisi akan menjawab kekhawatiran akan kelangkaan BBM di masa dating, dan di sisi lain dapat memberikan jalan keluar bagi kestabilan harga CPO.

Sementara itu, Kepala Biro Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) Dr Gede Wibawa menjelaskan, keuntungan dalam penggunaan biodiesel yakni tidak perlu modifikasi mesin. Biodiesel bahkan mempunyai efek pembersihan terhadap tangki bahan bakar, injector dan slang. Ia mengatakan bahan-bahan yang kompatibel dengan biodiesel yakni black mild steel, stainless steel, fluorinated polyethylene, dan fluorinated polypropylene.

“Biodiesel dapat mengurangi emisi karbon monoksida, hidrokarbon total, partikel, dan sulfur dioksida. Emisi nitrous oxide juga dapat dikurangi dengan penambahan konverter katalitik. Penambahan 20 persen biodiesel pada petroleum diesel dapat mengurangi emisi partikel sebesar 14 persen, total hidrokarbon sebesar 13 persen, karbon monoksida sebesar 7 persen dan sulfur sebesar 20 persen. Selain itu, biodiesel tidak menambah efek rumah kaca seperti halnya petroleum diesel karena karbon yang dihasilkan masih dalam siklus karbon,” jelasnya.

Gede menjelaskan, untuk harga biodiesel murni sangat tergantung pada harga CPO yang selalu berfluktuasi. Untuk skala besar pada harga CPO US$ 400 per ton, harga biodiesel diperkirakan mencapai sekitar US$ 560 per ton. Sehingga harga B10 (campuran 10 persen biodiesel dan 90 persen solar) menjadi Rp 2.400 per liter.

“Harga sebesar itu tidak terlalu tinggi untuk bahan bakar yang ramah lingkungan,” ungkapnya.***

Penanganan Kasus Pulau Sangiang Lebih Bermotif Character Assasination?

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

PENANGANAN kasus dugaan perusakan lingkungan oleh PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) yang kini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Serang kini menemukan sebuah fakta baru. Tuduhan dan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten kepada Direktur Utama (Dirut) PKP Dewanto Kurniawan sebagai penanggungjawab dugaan kerusakan lingkungan Pulau Sangiang ternyata tidak didasarkan bukti yang akurat. Ironisnya, JPU berani menyusun dakwaan tanpa disertai bukti lapangan yang konkret dan riil.

Memang kalau dilihat secara obyektif, penanganan kasus Pulau Sangiang oleh tim penyidik baik oleh Polda Banten maupun Kejati sejak awal terkesan dipaksakan. Hal ini terlihat jelas, dari kronologis penanganan kasus itu. Kasus itu mulai ditangani pihak penyidik dari Kepolisian Wilayah (Polwil) Banten sekarang sudah ditingkatkan statusnya menjadi Polda Banten, sejak tahun 2002 lalu. Pertanyaan yang harus dijawab oleh penyidik yakni mengapa kasus dugaan perusakan lingkungan di Pulau Sangiang itu menyita waktu selama kurang lebih tiga tahun. Apakah pihak penyidik Polda Banten sengaja memperpanjang proses kasus itu, atau memang kasus itu sengaja direkayasa untuk menjatuhkan kredibilitas seseorang atau mungkin mencari keuntungan pribadi penyidik?

Kasus ini menarik untuk dikaji karena obyektivitas penyidik dalam menangani kasus Pulau Sangiang patut dicurigai dan dipertanyakan. Sebab, kasus ini terungkap berawal dari konflik internal antara Direktur Utama Dirut PT PKP Dewanto Kurniawan dan Direktur I PT PKP Edi Gozali. Konflik internal ini mencuat karena persoalan saham di mana Direktur I Edi Gozali meminta untuk dikembalikan sahamnya sebesar 30 persen yang sudah dimasukkan di PT PKP. Sementara Dirut PT PKP Dewanto Kurniawan sendiri hanya memiliki saham 60 persen di PT PKP.

Namun persoalan mengenai saham ini kemudian semakin mengental dan mengerucut ketika pihak Edi Gozali meminta agar sahamnya harus dikembalikan lebih dari 30 persen. Tuntutan dari pihak Edi Gozali ini jelas ditolak oleh pihak Dewanto Kurniawan karena PT PKP sendiri belum berjalan. Selain itu permintaan Edi Gozali itu dinilai tidak memiliki dasar yang cukup kuat sehingga pihak Dewanto menolak untuk membayar saham lebih dari 30 persen itu.

Karena tidak menemukan kata sepakat mengenai saham itu, akhirnya kasus itu dibelokkan oleh pihak Edi Gozali ke isu perusakan lingkungan hidup di Pulau Sangiang yang dituduhkan kepada Dewanto Kurniawan sebagai penanggungjawabnya. Namun, ketika pihak penyidik dari Polda menyelidiki kasus itu, tidak ditemukan cukup bukti sehingga prosesnya menjadi panjang dan berlarut-larut. Anehnya, tuduhan perusakan lingkungan itu hanya ditujukan kepada Dirut PT PKP Dewanto Kurniawan. Sementara perusahaan itu merupakan perusahaan berbadan hukum, di mana penanggaung jawabnya bersifat korporasi atau jajaran direksi. Lebih aneh lagi, Edi Gozali sudah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus yang sama, namun hingga kini berkasnya belum dilimpahkan ke Kejati. Pasalnya, pihak Polda Banten sudah melimpahkan berkas tersangka Edi Gozali itu sebanyak tiga kali, namun Kejati selalu mengembalikannya dengan dalih pihak penyidik Polda belum mampu membuktikan perbuatan materiil tersangka Edi.

Kendati tidak memiliki cukup bukti, pihak penyidik Polda Banten bekerja sama dengan Kejati Banten berani meneruskan kasus itu ke pengadilan. Bahkan, Kejati Banten berani menahan terdakwa Dewanto Kurniawan, dan kemudian ditangguhkan penahanannya oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Serang. Persidangan pun dilakukan di Pengadilan Negeri Serang. Namun, dari seluruh rangkaian proses persidangan itu terlihat jelas bahwa tuduhan telah terjadinya kasus perusakan lingkungan di Pulau Sangiang terkesan dipaksakan. Bahkan pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) berani menyusun dakwaan kepada terdakwa Dewanto Kurniawan hanya berdasarkan keterangan saksi dan tidak meninjau langsung kondisi riil di Pulau Sangiang.

Nuansa rekayasa tuduhan perusakan lingkungan Pulau Sangiang semakin terkuak, ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Serang dibawa pimpinan Husni Rizal SH, bersama JPU Kejati Banten Anawi SH, dan penasihat hukum terdakwa Asfifuddin SH menggelar sidang lapangan kasus Pulau Sangiang Rabu (31/8) lalu. Kejanggalan dan keanehan mulai terlihat, ketika majelis hakim meminta kepada JPU untuk menunjukkan areal Pulau Sangiang seluas 448,93 hektare yang dinyatakan telah mengalami kerusakan sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan JPU. JPU yang diketuai oleh Asnawi SH, terlihat bingung untuk membuktikannya di lapangan, karena dia sendiri dalam menyusun dakwaan itu tidak pernah melakukan peninjauan langsung kondisi lapangan di Pulau Sangiang. Lebih memalukan lagi, ketika majelis hakim meminta kepada JPU untuk menunjukkan lokasi atau titik di areal yang dikelola oleh PT PKP yang dituduh telah mengalami kerusakan. Jaksa Asnawi malah meminta kepada salah seorang petugas Polisi Kehutanan (Polhut) yang bertugas di Pulau Sangiang untuk menunjukkan lokasi yang dimaksudnya. Namun, salah seorang Polhut Adang Santawi menegaskan bahwa pihaknya bekerja di Pulau Sangiang sejak tahun 1986, namun pihaknya belum pernah melihat adanya kegiatan yang merusakan lingkungan di Pulau Sangiang.

“Selama saya bekerja di Pulau Sangiang, saya belum pernah melihat kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan oleh PT PKP. Namun, karena saya diminta untuk menunjukkan lokasi yang diduga telah terjadi kerusakan lingkungan, saya bersedia mengantarnya,” jelas Adang.

Berdasarkan hasil peninjauan bersama wartawan di Pulau Sangiang, tidak ditemukan satu pun bukti sebagaimana yang didakwakan JPU dalam dakwaannya terhadap terdakwa Dewanto Kurniawan. Dalam dakwaan JPU dikatakan bahwa akibat pembangunan yang dilakukan oleh PT PKP, telah terjadi kerusakan lingkungan di Pulau Sangiang berupa pengerukan terumbu karang yang menggunakan alat berat, penebangan pohon cemara laut, penghancuran bukit dengan menggunakan alat peledak, dan pembangunan jalan dengan menggunakan terumbu karang. Semua dakwaan JPU sama sekali bertentangan dengan kondisi riil di Pulau Sangiang. Situasi di Pulau Sangiang, tidak ada yang luar biasa.

Kalau kita kaji secara obyektif, penanganan kasus perusakan lingkungan di Pulau Sangiang, Serang, Banten semakin kasat mata terlihat dipaksakan untuk diproses secara hukum. Sepintas, terkuak kesan pihak penegak hukum sengaja mempermainkan kasus ini sehingga terlihat indikasi ketidakadilan dalam menegakan supremasi hukum dalam penanganan kasus itu.

Penasihat hukum terdakwa Asfifuddin SH, kepada Pembaruan, Minggu (5/9) menegaskan bahwa tuduhan JPU terhadap kliennya telah melakukan perusakan lingkungan di Pulau Sangiang secara berencana terkesan mengada-ada, dan tidak berdasar. Sebab, semua tuduhan atau dakwaan itu tidak disertai dengan bukti yang konkret di lapangan.

“JPU dan majelis hakim sudah mengikuti sidang lapangan. JPU sendiri tidak mampu membuktikan kerusakan yang dituangkannya dalam dakwaan. Jadi terlihat jelas bahwa pengusutan kasus dugaan perusakan lingkungan di Pulau Sangiang lebih bermotif kepentingan dan mau membunuh karakter (character assasination) terdakwa Dewanto Kurniawan. Karena itu kami meminta kepada majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari segala dakwaan tuntutan JPU, sebab dakwaan JPU itu tidak berdasarkan bukti yang kuat dan meyakinkan,” tegas Asfifuddin.

Menurut Asfifuddin, jika dilihat dari logika bisnis, tuduhan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh Dewanto Kurniawan sebagai Dirut PT PKP sangat irasional sebab, Dewanto berani menanamkan sahamnya di PT PKP untuk mengelola Pulau Sangiang karena nilai jual kawasan itu terletak pada keindahan alamnya.

“Lebih ironis lagi terdakwa didakwa telah melakukan perusakan lingkungan secara berencana sehingga menyebabkan areal seluas 448,93 hektare di Pulau Sangiang mengalami kerusakan yang cukup parah. Luas sebesar itu dihitung dari mana. PT PKP baru memulai pembangunan di areal seluas 15 hektare, namun karena dihamba oleh krisis moneter pada tahun 1998 lalu, pembangunan itu tidak bisa dilanjutkan. Selain itu, izin yang diberikan kepada PT PKP hanya lahan seluas 500 hektare. Kita patut pertanyakan kualitas kinerja JPU Kejati Banten itu,” tegasnya.

Berdasarkan pengamatan Pembaruan di lapangan, dakwaan JPU bahwa telah terjadi perusakan terumbu karang akibat dikeruk oleh PT PKP dengan menggunakan alat berat begu. Namun di lokasi yang ditunjuk JPU yakni di Blok Raden Pulau Sangiang, memang terlihat tumpukan terumbu karang mati, namun tumpukan terumbu karang itu terjadi akibat hempasan ombak. PT PKP justu telah melakukan upaya pencegahan dampak abrasi dengan menanamkan tiang kayu sepanjang pesisir pantai di lokasi itu. Hal yang sama di Blok Mandi, tidak ditemukan adanya bukti penebangan pohon cemara laut sebagaimana didakwa oleh JPU. Demikian juga di Blok Penyampitan dimana didakwa telah terjadi peledakan bukit dengan menggunakan alat peledak juga tidak ditemukan bukti.

Kondisi riil di lapangan itu membuat tabir kebenaran dan motif penanganan kasus penannganan kasus perusakan lingkungan di Pulau Sangiang terkuak. Quo vadis kasus Pulau Sangiang.***

Sejam Mengelilingi Lakosi Wisata Alam Pulau Sangiang

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

PESONA alam Pulau Sangiang yang terletak di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, sungguh menakjubkan. Apalagi, kalau Pulau Sangiang yang dikenal dengan julukan Seven Wonders of Banten ini dikelola dengan sentuhan tangan profesional para pengelola wisata, dipastikan akan menjadi pesona wisata dunia. Keindahan alamnya, baik itu terumbu karang, pantai, maupun jarak tempuhnya yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit dari Anyer, dengan menggunakan kapal atau perahu bermotor, Pulau Sangiang akan menjadi tempat wisata yang menjanjikan bagi Provinsi Banten pada khususnya, maupun Indonesia pada umumnya.

Pulau Sangiang yang letak geografisnya antara 105'49'30" - 105'52' Bujur Timur 5'56' - 5'58'50" Lintang Selatan memang hingga saat ini belum dikelola. Kendati demikian, pancaran daya tarik alamnya tetap mempesona karena kondisi alamnya masih indah, terumbu karang dan juga hutan mangrove yang terbentang di sepanjang pesisir pulau itu.

Pulau yang indah itu, memang telah dikelola oleh PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) berdasarkan izin prinsip pemberian hak penguasaan pariwisata alam dari Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No. 66/Kpts-II/93 tertanggal 12 Februari 1993. Perusahan dengan Direktur Utama (Dirut) Dewanto Kurniawan ini berencana mengelola kawasan itu menjadi obyek wisata terpadu dengan berbagai mega proyek yang akan dikerjakan.

Proyek pengelolaan kawasan wisata di Pulau Sangiang ini tentu akan menelan dana triliunan rupiah. Dalam perencanaannya, di kawasan wisata terpadu ini akan dibangun resor, vila, hotel, lapangan golf, kereta gantung, rumah sakit dan juga kolam renang yang berstandar internasional. Untuk kawasan lautnya, akan dibuat sedemikian rupa sehingga, para wisatawan bisa melakukan surfing, diving, dan snorkling untuk melihat keindahan alam di dasar laut.

Namun, setelah negeri ini mengalami krisis moneter pada tahun 1998, rencana dari PT PKP untuk membangun wisata terpadu itu mengalami kebuntuan. PT PKP tidak bisa melanjutkan pekerjaannya untuk membangun kawasan wisata terpadu di pulau yang seluas 750 hektare itu karena terkena dampak krisis moneter.

Namun, ketika PT PKP berencana untuk mengelola Pulau Sangiang itu, persoalan internal terkait saham Dirut Dewanto Kurniawan dan Direktur I PT PKP Edi Gozali. Tiba muncul. Konflik akhirnya memuncak dan berujung pada laporan ke pihak kepolisian terkait kasus perusakan lingkungan di Pulau Sangiang, di mana disinyalir akibat kegiatan pembangunan yang dilakukan PT PKP menimbulkan terjadinya kerusakan terumbu karang dan hutan mangrove di kawasan itu.

Laporan yang disampaikan oleh Direktur PT PKP Edi Gozali itu akhirnya ditangani oleh pihak kepolisian di Banten yang pada saat itu masih berstatus Kepolisian Wilayah (Polwil) sejak tahun 2002 lalu.

Persoalan perusakan lingkungan hidup di Pulau Sangiang ini ternyata akhirnya sampai ke meja hijau di mana Dirut PT PKP Dewanto Kurniawan dituduh sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus itu. Kasus ini telah dan tengah disidangkan di PN Serang. Selain Dirut Dewanto Kurniawan yang menjadi tersangka dalam kasus itu, Direktur I PT PKP Edi Gozali juga telah ditetapkan jadi tersangka oleh Polda Banten.

Secara kebetulan, pada sidang lanjutan terkait kasus Pulau Sangiang itu, Pembaruan diundang untuk mengikuti sidang lapangan yang digelar di Pulau Sangiang, Rabu (31/8). Sidang lapangan itu bertujuan untuk melakukan konfirmasi dengan bukti riil di lapangan terkait dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tingg) (Kejati) Banten bahwa telah terjadi kerusakan Pulau Sangiang seluas 448,93 hektare akibat pembangunan yang dilakukan oleh PT PKP.

Rombongan sidang lapangan itu, terdiri dari majelis hakim dari Pengadilan Negeri Serang, JPU dari Kejati Banten, kelompok PT PKP dan penasihat hukum Asfifuddin SH serta wartawan berangkat dari Anyer dengan menggunakan kapal cepat Gren Gaden Sangiang I. Kapal milik PT PKP yang berkapasitas puluhan penumpang itu melaju dengan tenang menuju Muara Tembuyung. Dalam waktu 45 menit seluruh rombongan tiba di dermaga Muara Tembuyung yang terbuat dari kayu itu dengan selamat. Dari dermaga itu, bisa dilihat pesona alam pantai Pulau Sangiang yang begitu menjanjikan. Bahkan dari dermaga itu pula, kita bisa menikmati keindahan terumbu karang di dasar laut.

Selain menikmati suasana pantai, rombongan juga diberikan kesempatan untuk menyusuri daratan melalui jalan setapak di bawah teduhan pohon cemara laut. Kondisi alam di Pulau Sangiang masih terlihat alami. Tidak ada tanda-tanda kerusakan akibat pembangunan oleh PT PKP. Memang terlihat di sana dua bangunan yang kondisinya sudah lapuk bekas kantor PT PKP sebelum krisis moneter. Namun, kondisi alamnya, baik itu pohon cemara yang tumbuh secara alami, pohon jati, kelapa dan pohon liar lainnya masih terlihat utuh. Apalagi, polisi hutan tetap mengawasi kawasan Taman Wisata Alam wilayah itu.

Setelah menikmati suasana daratan, rombongan kemudian diajak mengelilingi Pulau Sangiang, melalui laut dengan menggunakan Kapal Cepat Gren Gaden Sangiang I. Perjalanan keliling menggunakan kapal itu begitu mengasyikan, karena kita bisa melihat suasana pantai Pulau Sangiang yang indah dan juga suasana alamnya. Sepanjang pesisir Pulau Sangiang masih terlihat hutan mangrove, dan juga tanggul yang dibuat PT PKP untuk menahan abrasi. Perjalanan yang memakan waktu sejam itu begitu mengesankan.

Dirut PT PKP Dewanto Kurniawan menjelaskan, pengelolaan yang dilakukan PT PKP mengalami hambatan karena krisis moneter. PT PKP belum sempat berbuat apa-apa selain berusaha agar keindahan alam di Pulau Sangiang tetap bertahan dan terjaga dengan baik karena nilai jual obyek wisata Pulau Sangiang terletak pada pesona alamnya.

“Kami mau menanam saham di Pulau Sangiang ini karena yang mau kami jual adalah keindahan alamnya. Karena itu, pada tahap awal kami melakukan upaya pembangunan tanggul di sepanjang pantai agar tidak terjadi abrasi yang merusak pantai. Jadi kalau kami dituduh melakukan kerusakan lingkungan, sama sekali tidak masuk akal. Sebab, untuk apa kami membuang dana begitu besar jika Pulau Sangiang kehilangan daya tariknya,” jelas Dewanto.

Sementara itu, penasihat hukum PT PKP Asfifuddin mengungkapkan, site plan pengelolaan Pulau Sangiang sudah dibuat secara lengkap oleh PT PKP. Ia mengatakan, PT PKP dalam hal ini Dirut Dewanto Kurniawan sudah menyiapkan dana untuk membangun Pulau Sangiang itu menjadi daya tarik wisata dunia.

“Dalam site plan itu sudah digambarkan secara jelas mengenai perencanaan pembangunan Pulau Sangiang. Mulai dari vila, rumah sakit, lapangan golf, hotel, restoran, kolam renang, dan sarana serta prasarana lainnya sudah direncanakan secara matang oleh PT PKP. Namun, bagaimana PT PKP bisa memulai kerjanya jika pihak-pihak tertentu berusaha untuk menghambatnya dengan tuduhan bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan di Pulau Sangiang. Logikanya, bagaimana mungkin seorang investor yang mengelola wisata alam mau merusak alam itu sendiri. Kita sendiri sudah melihat bukti di lapangan bahwa tuduhan bahwa telah terjadi perusakan lingkungan oleh PT PKP sama sekali tidak terbukti,” tegas Asfifuddin.***

Asfifuddin mengungkapkan, Pulau Sangiang merupakan aset Kabupaten Serang dan Provinsi Banten pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Kebetulan PT PKP diberikan izin untuk mengelola pulau itu guna mendatang devisa bagi Indonesia dan bisa membuka lapangan kerja baru.

“Jika dilihat dari site plan-nya, PT PKP berencana akan mengelola Pulau Sangiang menjadi tempat wisata yang paling mewah untuk kelas menengah ke atas baik untuk turis mancanegara maupun domestik. Seharusnya, pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum di Banten mendukung dan memberikan suasana kondusif guna merealisasikan rencana PT PKP itu. Bukan sebaliknya, PT PKP baru tahap proses pembangunan, langsung dihambat,” tegas Asfifuddin.

Menyusuri Pulau Sangiang, memang mengesankan. Apalagi kalau keberadaan pulau yang memiliki keindahan alam itu dikelola secara baik, daya tariknya akan semakin kuat. ***

Menakar Tingkat Ketelitian, Obyektivitas dan Efektivitas Pendistribusian KKB

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

KEBIJAKAN menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan oleh pemerintah pusat, berjalan seiring dengan dikeluarkannya Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM tentu bukan tanpa masalah. Di satu sisi pemerintah memberikan dana kompensasi baik itu berupa Biaya Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Khusus Murid (BKM), bantuan di bidang kesehatan, bidang pekerjaan umum untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan desa maupun bantuan langsung tunai, namun di sisi lain pemerintah justru menaikkan harga BBM yang membawa dampak semakin melangitkan harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

Jika dibuat perhitungan secara ekonomis, maka bantuan yang diberikan oleh pemerintah itu sebenarnya tidak ada artinya sama sekali ketimbang beban yang ditanggung masyarakat akibat meningkatnya harga kebutuhan pokok sebegai ekses dari kebijakan kenaikan harga BBM.

Menyimak dasar pemikiran dikeluarkannya kartu kompensasi BBM (KKB) yakni untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka seharusnya pemerintah tetap menjaga agar harga kebutuhan pokok tetap stabil kendati ada kenaikkan harga BBM. Namun, hal ini tentu tidak mungkin karena dengan dinaikkannya harga BBM maka biaya operasional yang harus ditanggung para pedagang juga akan semakin meningkat. Hal yang sama dengan tarif angkutan tidak bisa dikendalikan kenaikannya.

Salah satu kebijakan pembangunan 2004-2009 sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat yang di antaranya memuat target menurunkan angka kemiskinan dari 16,7 persen pada tahun 2004, menjadi 8,2 persen pada tahun 2009.

Ada satu hal menarik yang menjadi faktor kunci untuk mencapai target itu yakni meningkatknya daya beli masyarakat secara berkelanjutan. Selain itu, adanya upaya untuk meningkatkan akses pemeliharaan kesehatan, dan pelayanan pendidikan, khususnya pendidikan dasar sembilan tahun. Keduanya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas penduduk sebagai sumber daya pembangunan. Sasaran pembangunan yang berorientasi pada wilayah tertinggal adalah peningkatan dan pembangunan infrakstruktur pedesaan yang diberikan pada desa-desa tertinggal untuk memperbaiki dan membangun irigasi, jalan umum dan prasarana air bersih.

Pembangunan yang menitikberatkan pada kepentingan masyarakat grass root ini dibutuhkan biaya yang meningkat setiap tahun dalam alokasi APBN. Namun kendala pembiayaan yang dihadapi saat ini adalah membengkaknya subsidi BBM sebagai akibat meningkatnya harga minyak mentah di pasar internasional. Dikatakan, kenaikan harga BBM akan berdampak secara berantai pada kenaikan harga barang-barang pokok sehari-hari sehingga akan berpengaruh pada penurunan daya beli sebagian besar masyarakat khususnya rumah tangga dengan pendapatan rendah atau rumah tangga miskin.

Dikatakan, bahwa sebagai kompensasi terhadap kenaikan harga barang dan jasa yang diakibatkan kenaikan BBM pada awal Maret 2005 dan yang mungkin akan dilakukan kembali pada waktu mendatang, pemerintah meluncurkan program PKPS-BBM yang pada tahun anggaran 2005 meliputi bantuan subsidi di bidang pendidikan, bidang kesehatan, dan infrastruktur pedesaan, termasuk bantuan langsung tunai (BLT).

Khususnya mengenai BLT kepada KK miskin, pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005 tentang BLT kepada KK Miskin yang dikeluarkan pada tanggal 10 September 2005. Secara umum, Inpres 12/2005 tersebut diatur tugas-tugas menteri dan Kepala BPS agar pelaksanaan BLT dapat berjalan lancar dan tertib.

BPS telah melaksanakan tugas pendataan rumah tangga miskin pada tanggal 15 Agustus-15 September 2005 serentak di seluruh Indonesia. Pendataan yang dikemas dengan nama Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk Tahun 2005 (PSE05).

Dijelaskan juga bahwa, BPS Kabupaten/Kota, harus membentuk tim pendistribusian KKB, di tingkat kabupaten/kota dan tingkat kecamatan, masing-masing difasilitasi oleh bupati/ wali kota dan camat. Tim di tingkat kecamatan terdiri dari petugas BPS, aparat kecamatan, aparat desa/kelurahan di bawah pengawasan BPS Kabupaten/Kota, dan BPS Provinsi.

Dengan menggunakan daftar nama dan alamat rumah tanggak miskin yang dikirim BPS Pusat tim melakukan penelitian ulang dan pencocokan nama dan alamat serta sekaligus memastikan validitas rumah tangga calon penerima KKB.

Dalam pencocokan dan penelitian ulang, empat hal bisa terjadi: Pertama, bagi rumah tangga yang nama, alamat serta pangilannya salah secara fatal (salah cetak), dilakukan perbaikan data dan pencetakan ulang KKB. Petugas harus memberitahu perubahan ini ke BPS kabupaten/kota yang selanjutnya melalui BPS Provinsi diteruskan ke BPS Pusat, untuk perbaikan basis data sekaligus percetakan kembali kartunya oleh PT Pos Indonesia.

Kedua, bagi rumah tangga yang ternyata tidak layak disebut miskin harus dicoret dari daftar nama (selanjutnya dibatalkan KKB-nya). Informasi mengenai rumah tangga yang dicoret disampaikan secara berjenjang ke BPS Pusat untuk perbaikan basis data kemiskinan.

Ketiga, apabila masih dijumpai di lapangan rumah tangga yang benar-benar layak disebut miskin, kepadanya masih dimungkinkan untuk didaftar dan informasinya disampaikan secara berjenjang ke BPS Pusat untuk perbaikan basis data dan percetakan KKB-nya oleh PT Pos Indonesia.

Berkaitan dengan sistem atau mekanisme pendistribusian KKB, setelah kegiatan pencocokan dan penelitian ualng KKB yang telah diterima BPS kabupaten/kota dari PT Pos Indonesia didistribusikan kepada mantri statistik bersama tim pendistribusian di tingkat kecamatan membagikan KKB ke kelurahan/desa difasilitasi oleh lurah/kepala desa. Pembagian KKB ke kantor kelurahan/desa atau diberikan langsung, door to door ke rumah miskin tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing lingkungan. Mekanisme distribusi KKB adalah sebagai berikut: Pertama, rumah tangga miskin yang telah dinyatakan valid (cocok) dapat langsung menerima KKB dengan menandatangani print-out daftar nama rumah tangga miskin yang telah disiapkan/dikirim oleh BPS Pusat

Kedua, rumah tangga miskin yang namanya masih keliru, KKB-nya yang baru akan diberikan setelah KKB yang dicetak ulang oleh PT Pos Indonesia diterima BPS Kabupaten/Kota atau mantri statistic bersangkutan. KKB yang keliru dicetak harus dibuat rusak/cacat secara fisik dan disimpan oleh BPS Kabupaten/Kota dengan dibuatkan berita acara.

Ketiga, rumah tangga miskin yang tidak valid (tidak miskin) KKB-nya dilarang keras untuk diberikan. KKB dimaksud segera dikembalikan ke BPS Kabupaten/Kota dibuat rusak/cacat secara fisik dan disimpan dengan dibuatkan berita acara.

Keempat, rumah tangga yang belum didaftar dan secara nyata benar-benar miskin, dapat diberikan KKB-nya pada kesempatan berikutnya setelah KKB dicetak oleh PT Pos Indonesia.

Dari berbagai panduan dan petunjuk pelaksanaan bantuan di atas, terlihat jelas bahwa sistem yang dibuat berusaha untuk mengurangi terjadinya salah sasaran, dan penyalahgunaan dana BLT itu. Namun, sistem yang baik tidak disertai dengan pola pengawasan, dan sumber daya yang memadai, maka pasti pendistribusian KKB itu tetap akan menemukan masalah.

Kepala BPS Kabupaten Serang Dodo Sarwanto kepada Pembaruan di ruang kerjanya, Jumat (30/9) lalu mengungkapkan, untuk menghilangkan sama sekali kekeliruan, dan kesalahan dalam pendataan keluarga miksin tentu tidak mungkin. Yang bisa terjadi, menurut Dodo yakni mengurangi kesalahan dan kekeliruan serta berusaha agar dana BLT itu bisa tepat sasaran.

Ada beberapa faktor yang menjadi potensi terjadinya kesalahan yakni kurangnya obyektivitas dan ketelitian dalam proses pendataan. Sebab dalam melakukan pendataan keluarga miskin BPS menggunakan beberapa referensi yakni dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang lewat petugas lapangan keluarga berencana (PLKB). Selain itu melalui petugas pemerintahan desa yakni RT, atau pihak desa atau kelurahan,” jelasnya.

Dodo mengungkapkan, tingkat kesalahan dan ketidaktelitian tergantung dari akurasi informasi data dari referensi yang ada. Sebab, petugas BPS tidak mungkin datang dari rumah ke rumah, untuk mengecek keluarga miskin. Apalagi petugas BPS sangat terbatas, baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Karena itu, peluang tidak efektifnya bantuan berupa dana BLT dengan cara membagi KKB tetap ada.

“Jika petugas RT tidak bersikap obyektif dalam pendataan KK miskin maka yang akan terjadi pendistribusian KKB itu tidak tepat sasaran. Bisa saja ketua RT merekomendasikan anggota keluarganya yang masuk KK miskin guna mendapat bantuan, atau memprioritaskan kenalan atau masyarakat yang dianggapnya baik. Sementara orang lain yang dinilai berseberangan atau bukan keluarga RT, diabaikan begitu saja. Jadi di sini ketelitian dan obyektivitas pendistribusian KKB masih perlu dipertanyakan,” tegas Dodo.

Lebih lanjut Dodo menjelaskan, setelah pendataan tingkat RT selesai, data itu kemudian diolah oleh petugas BPS. Potensi kesalahan dan kekeliruan pun tetap ada. Petugas BPS bisa saja keliru dan salah dalam melakukan entri data di komputer sehingga menimbulkan masalah.

“Kendatipun nanti dibuat penelitian dan pencocokan ulang data nama dan alamat KK miskin berdasarkan KKB yang telah dicetak itu, namun hal itu tidak mungkin seluruhnya dilakukan pencekan secara door to door. Selain jumlah petugas terbatas, juga KK miskin itu tersebar di seluruh desa/kelurahan sehingga sulit dilakukan pencocokan ulang. Petugas mungkin hanya tanya kepada ketua RT untuk mengecek apakah nama dan alamat KK miskin yang tertuang dalam KKB itu benar-benar orang miskin atau tidak. Karena itu, jangan terlalu berharap tingkat ketelitian, obyektivitas dan efektivitas pendistribusian KKB itu bisa sukses seperti apa yang diharapkan bersama,” jelasnya.

Menurut Dodo, dari tenggat waktu, dari pendistribusian KKB dari BPS Pusat ke BPS kabupaten/kota sangat mepet. Sebagai contoh kata Dodo, KKB untuk masyarakat miskin Kabupaten Serang baru diterima Kamis (29/9). Sementara waktu yang ditetapkan untuk mendistribusikan KKB itu mulai tanggal 5 Oktober 2005.

“Dari waktu itu saja, sangat tidak mungkin bagi kami untuk bekerja maksimal. Kami harus melakukan rapat koordinasi, dan juga melakukan penelitian serta pencocokan ulang daftar nama dan alamat KK miskin yang ada. Karena itu, kami akan melakukan pencocokan dan penelitan seadanya,” jelasnya.

Jika dilihat dari berbagai faktor hambatan yang ada, maka tingkat ketelitian, obyektivitas serta efektivitas pemberian KKB untuk meningkatkan daya beli masyarkat miskin masih diragukan. Apalagi kalau pemberian BLT ini ditinjau dari segi efisiensi dan efektivitasnya, masyarakat miskin tidak mungkin merasa terbantu dengan memberikan bantuan Rp 100.000 per bulan dengan harga barang kebutuhan pokok yang semakin melonjak. Namun, ironisnya pemerintah selalu mengatakan, daripada tidak mendapat bantuan sama sekali. Misi pemerintah dalam pemberian bantuan BLT dengan KKB-nya untuk meningkatkan daya beli masyarakat secara berkelanjutan merupakan sebuah mimpi di siang bolong, alias impossible. Masyarakat jangan berharap terlalu banyak dari bantuan pemerintah itu, karena harga kebutuhan pokok juga terus melangit akibat kenaikan tarif BBM. Lalu, upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat hanya sebuah utopia? ***

Emi Yang Terkena Osteoporosis Tidak Didata sebagai Resipien KKB

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

Rumahnya hanya berdindingkan potongan tripleks dan papan yang usang. Lantainya, berupa semen tapi seadanya. Bahkan sebagian besar sudah pecah. Luas rumahnya pun tidak seberapa kira-kira dua kali satu meter. Namun, penghuninya cukup banyak yakni sebanyak enam orang, yakni dua orang anaknya, menantu ditambah dua orang cucunya.

Situasi rumah itu sangat sumpek dan sederhana. Rumah yang reot dan sederhana itu terletak di pinggir areal persawahaan, tidak jauh dari kompleks perumahan Ciceri Permai, yang cukup elit di Kota Serang. Bahkan, di sekeliling rumah itu terdapat beberapa rumah yang cukup luks.

Di gubuk yang sederhana itulah, seorang janda miskin Ny Emi (65) berteduh

dan bergelut dengan penderitaannya akibat terserang penyakit keropos tulang (osteoporosis) sejak lima tahun lalu. Sekitar sembilan tahun lalu ia ditinggal suaminya untuk selamanya. Sejak itu pula ia hidup menjanda dan mengurus seorang diri untuk membesarkan anak-anaknya sebanyak empat orang.

Rumah reot yang terletak di RT 07/RW14 Kompleks Ciceri Permai,Kelurahan Sumur Pencung, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang, Banten itu memang milik anaknya yang kedua Tohir (28). Tohir telah menikah dengan Yanti (26) dan memiliki dua orang anak.

Ny Emi bersama anak bungsunya, Haryani (10) yang kini duduk di kelas IV SD tinggal bersama Tohir sekeluarga.

Sementara dua anak Ny Emi yang lain juga sudah berkelurga, yakni Sutar (30) dan Anton (26) tinggal di rumahnya masing-masing yang letaknya tidak jauh dari tempat itu. Kedua anaknya itu juga hanya bekerja sebagai tukang pengayuh becak, sehingga tidak bisa diharapkan untuk membantu mengobati penyakit yang diderita Ny Emi.

Beban ekonomi yang ditanggung oleh Tohir bersama Yanti memang terbilang sangat berat, karena Tohir hanya bekerja sebagai tukang penarik sampah. Pendapatan yang diperoleh Tohir hanya sebesar Rp 100.000 per bulan dari pekerjaannya sebagai tukang sampah. Namun, karena Tohir bekerja di tiga RT sekaligus sebagai penarik sampah, maka pendapatannya mencapai Rp 300.000 per bulan.

“Uang sebesar itu terpaksa dipas-paskan saja dengan kebutuhan kami setiap hari. Anak kami dua orang, semuanya sudah sekolah. Anak pertama sudah masuk SD kelas I sedangkan anak kedua sudah masuk TK. Sementara adik ipar saya Haryani juga masih SD. Sebenarnya beban ekonomi kami sangat berat, namun kami tidak bisa berbuat banyak. Kami hanya pasrah dengan keadaan seperti ini,” ungkap istri Tohir, Yanti kepada Suara Pembaruan, di kediamannya, Senin (10/10) malam.

Yanti mengungkapkan, sejak mertuanya itu terkena penyakit lumpuh pihaknya bersama suaminya serta seluruh keluarga sudah melakukan upaya pengobatan alternatif dengan membawanya ke tukang urut dan pengobatan alternatif lainnya. Namun upaya itu tidak membawa hasil. Penyakit yang diderita Ny Emi tetap tidak mengalami perubahan. Bahkan, penyakit lumpuhnya bertambah parah. Untuk duduk pun Ny Emi harus ditopang oleh anaknya atau oleh anggota keluarga lain.

“Kami belum pernah memeriksakannya ke dokter, karena kami tidak memiliki biaya. Kami pasrah saja. Untuk mandi dan membuang air besar, kami harus membopongnya. Jadi setiap hari mertua saya Ny Emi hanya terbaring lemah di tempat tidurnya,” ungkap Yanti.

Yanti mengungkapkan, pihaknya beberapa hari lalu didatangi oleh salah seorang petugas dari RT setempat untuk mendata sebagai penerima bantuan kompensasi bahan bakar minyak. Namun, ketika pihaknya menyampaikan bahwa mertuanya juga perlu didaftar, petugas RT justru menolaknya.

“Kami belum menerima Kartu Kompensasi Bahan Bakar Minyak (KKB) itu. Namun kami sudah didaftar oleh petugas RT atas nama kepala keluarga suami saya Tohir. Kami sudah menyampaikan kepada petugas RT soal keberadaan mertua saya Ny Emi, sebab dalam rumah kami ini, sebenarnya terdapat dua kepala keluarga, yakni keluarga mertua saya, dan keluarga saya sendiri. Namun, petugas RT hanya mendata satu keluarga saja. Kami meminta pemerintah untuk memperhatikan hal ini,” ujar Yanti.

Apa yang diungkapkan Yanti, sebenarnya sangat mendasar dan beralasan, karena Ny Emi masih memiliki seorang anak yang masih SD yakni Haryani. Selain itu, anaknya Tohir sudah memiliki keluarga sendiri, kendati dalam keseharian, kehidupan Ny Emi ditanggung oleh anaknya Tohir.

Penderitaan Emi memang sangat memprihatinkan. Ketika Pembaruan mendatangi rumahnya, Ny Emi hanya bisa terbaring lemah di tempat tiddurnya yang hanya beralaskan kain. Ia tidak tidur di atas kasur. Di kamarnya yang berukuran sangat sempit itu, ia tidur bersama anak bungsuya Haryani. Kedua kaki Ny Emi tampak terus mengecil dan tidak bisa bergerak. Yang bisa digerakkan hanya organ tubuhnya bagiaan pinggang ke atas.

“Kendati kondisi saya seperti ini saya tetap berpuasa. Saya tetap berdoa, semoga penyakit yang saya derita ini tidak membuat anak saya tambah menderita. Sebab saya tahu, anak-anak saya juga hidup susah,” ungkapnya sambil mengerenyit menahan rasa sakit, ketika Pembaruan memintanya untuk coba mengambil posisi duduk.

Dengan nada sedih dan lirih, sambil meneteskan air mata, Ny Emi menuturkan bahwa ia pasrah dengan keadaannya. Penderitaannya yang tak kunjung sembuh itu ia anggap sebagai takdir yang mungkin ada hikmah.

“Saya tidak bisa mempersalahkan anak saya karena mereka juga susah. Saya sendiri pasrah sambil menunggu ajal,” ungkapnya.

Keperihatinan hidup Ny Emi yang berada di tengah orang berada secara ekonomi di Kompleks Perumahan Ciceri Permai, Kota Serang itu, memang sebuah ironi besar. Tak satu pun warga setempat yang merasa tersentuh dengan penderitaan Ny Emi. Bahkan lebih ironis lagi, petugas RT setempat tidak merasa tergugah untuk mendaftar Ny Emi sebagai penerima atau resipien KKB.

Ketika ditanya tentang program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM) berupa bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per KK miskin per bulan, Ny Emi mengaku sama sekali tidak tahu.

“Saya tidak pernah dikunjungi oleh petugas RT. Saya sama sekali tidak tahu soal bantuan kompensasi BBM itu. Kalau memang pemerintah di sini ingat saya dan mau memperhatikan saya, silakan. Kalau pun tidak mau mempedulikan saya, saya pasrah. Mungkin Tuhan menghendaki saya seperti ini,” kata Ny Emi dengan nada terbata-bata.

Ketika dimintai konfirmasi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Serang, Dodo Sarwanto kepada Pembaruan, Senin (10/10) mengungkapkan data yang diolah oleh BPS merupakan data yang diberikan oleh masing-masing RT di semua kelurahan/desa.

“Data KK miskin yang kami pakai adalah data atas rekomendasi petugas RT, karena mereka yang mengetahui secara persis kehidupan warganya. Kalau ternyata ada KK miskin yang sebenarnya layak untuk mendapat KKB, kami akan melakukan penelitian dan pencocokan ulang,” ungkap Dodo.

Dodo mengungkapkan berdasarkan data yang ada, terdapat 86.757 KK miskin yang akan menerima KKB guna mendapat bantuan langsung tunai. Ia mengatakan KK miskin itu tersebar di 371 desa/kelurahan dan 6.122 RT.

“Data yang kami terima itu sebelum dilakukan pencocokan dan penelitian ulang. Namun setelah kami lakukan pencocokan, sebanyak 500 KK yang dinyatakan tidak layak menerima KKB. Kendati demikian, petugas RT justru mengusulkan daftar nama baru sebanyak 500 KK juga. Kami sedang melakukan penelitian ulang,” ujarnya.

Menurut Dodo, penelitian dan pencocokan ulang data KK miskin itu memang sulit karena tersebar di semua kecamatan, desa dan RT. Sementara itu, jumlah petugas BPS yang bekerja sangat terbatas. Jadi, wajar jika ada yang luput dari pendataaan.

“Semuanya tergantung petugas RT dan desa/kelurahan. Jika petugas RT-nya tidak teliti dan tidak obyektif, maka data BPS juga akan sama seperti itu,” ungkapnya.***