18 November 2007

Emi Yang Terkena Osteoporosis Tidak Didata sebagai Resipien KKB

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

Rumahnya hanya berdindingkan potongan tripleks dan papan yang usang. Lantainya, berupa semen tapi seadanya. Bahkan sebagian besar sudah pecah. Luas rumahnya pun tidak seberapa kira-kira dua kali satu meter. Namun, penghuninya cukup banyak yakni sebanyak enam orang, yakni dua orang anaknya, menantu ditambah dua orang cucunya.

Situasi rumah itu sangat sumpek dan sederhana. Rumah yang reot dan sederhana itu terletak di pinggir areal persawahaan, tidak jauh dari kompleks perumahan Ciceri Permai, yang cukup elit di Kota Serang. Bahkan, di sekeliling rumah itu terdapat beberapa rumah yang cukup luks.

Di gubuk yang sederhana itulah, seorang janda miskin Ny Emi (65) berteduh

dan bergelut dengan penderitaannya akibat terserang penyakit keropos tulang (osteoporosis) sejak lima tahun lalu. Sekitar sembilan tahun lalu ia ditinggal suaminya untuk selamanya. Sejak itu pula ia hidup menjanda dan mengurus seorang diri untuk membesarkan anak-anaknya sebanyak empat orang.

Rumah reot yang terletak di RT 07/RW14 Kompleks Ciceri Permai,Kelurahan Sumur Pencung, Kecamatan Serang, Kabupaten Serang, Banten itu memang milik anaknya yang kedua Tohir (28). Tohir telah menikah dengan Yanti (26) dan memiliki dua orang anak.

Ny Emi bersama anak bungsunya, Haryani (10) yang kini duduk di kelas IV SD tinggal bersama Tohir sekeluarga.

Sementara dua anak Ny Emi yang lain juga sudah berkelurga, yakni Sutar (30) dan Anton (26) tinggal di rumahnya masing-masing yang letaknya tidak jauh dari tempat itu. Kedua anaknya itu juga hanya bekerja sebagai tukang pengayuh becak, sehingga tidak bisa diharapkan untuk membantu mengobati penyakit yang diderita Ny Emi.

Beban ekonomi yang ditanggung oleh Tohir bersama Yanti memang terbilang sangat berat, karena Tohir hanya bekerja sebagai tukang penarik sampah. Pendapatan yang diperoleh Tohir hanya sebesar Rp 100.000 per bulan dari pekerjaannya sebagai tukang sampah. Namun, karena Tohir bekerja di tiga RT sekaligus sebagai penarik sampah, maka pendapatannya mencapai Rp 300.000 per bulan.

“Uang sebesar itu terpaksa dipas-paskan saja dengan kebutuhan kami setiap hari. Anak kami dua orang, semuanya sudah sekolah. Anak pertama sudah masuk SD kelas I sedangkan anak kedua sudah masuk TK. Sementara adik ipar saya Haryani juga masih SD. Sebenarnya beban ekonomi kami sangat berat, namun kami tidak bisa berbuat banyak. Kami hanya pasrah dengan keadaan seperti ini,” ungkap istri Tohir, Yanti kepada Suara Pembaruan, di kediamannya, Senin (10/10) malam.

Yanti mengungkapkan, sejak mertuanya itu terkena penyakit lumpuh pihaknya bersama suaminya serta seluruh keluarga sudah melakukan upaya pengobatan alternatif dengan membawanya ke tukang urut dan pengobatan alternatif lainnya. Namun upaya itu tidak membawa hasil. Penyakit yang diderita Ny Emi tetap tidak mengalami perubahan. Bahkan, penyakit lumpuhnya bertambah parah. Untuk duduk pun Ny Emi harus ditopang oleh anaknya atau oleh anggota keluarga lain.

“Kami belum pernah memeriksakannya ke dokter, karena kami tidak memiliki biaya. Kami pasrah saja. Untuk mandi dan membuang air besar, kami harus membopongnya. Jadi setiap hari mertua saya Ny Emi hanya terbaring lemah di tempat tidurnya,” ungkap Yanti.

Yanti mengungkapkan, pihaknya beberapa hari lalu didatangi oleh salah seorang petugas dari RT setempat untuk mendata sebagai penerima bantuan kompensasi bahan bakar minyak. Namun, ketika pihaknya menyampaikan bahwa mertuanya juga perlu didaftar, petugas RT justru menolaknya.

“Kami belum menerima Kartu Kompensasi Bahan Bakar Minyak (KKB) itu. Namun kami sudah didaftar oleh petugas RT atas nama kepala keluarga suami saya Tohir. Kami sudah menyampaikan kepada petugas RT soal keberadaan mertua saya Ny Emi, sebab dalam rumah kami ini, sebenarnya terdapat dua kepala keluarga, yakni keluarga mertua saya, dan keluarga saya sendiri. Namun, petugas RT hanya mendata satu keluarga saja. Kami meminta pemerintah untuk memperhatikan hal ini,” ujar Yanti.

Apa yang diungkapkan Yanti, sebenarnya sangat mendasar dan beralasan, karena Ny Emi masih memiliki seorang anak yang masih SD yakni Haryani. Selain itu, anaknya Tohir sudah memiliki keluarga sendiri, kendati dalam keseharian, kehidupan Ny Emi ditanggung oleh anaknya Tohir.

Penderitaan Emi memang sangat memprihatinkan. Ketika Pembaruan mendatangi rumahnya, Ny Emi hanya bisa terbaring lemah di tempat tiddurnya yang hanya beralaskan kain. Ia tidak tidur di atas kasur. Di kamarnya yang berukuran sangat sempit itu, ia tidur bersama anak bungsuya Haryani. Kedua kaki Ny Emi tampak terus mengecil dan tidak bisa bergerak. Yang bisa digerakkan hanya organ tubuhnya bagiaan pinggang ke atas.

“Kendati kondisi saya seperti ini saya tetap berpuasa. Saya tetap berdoa, semoga penyakit yang saya derita ini tidak membuat anak saya tambah menderita. Sebab saya tahu, anak-anak saya juga hidup susah,” ungkapnya sambil mengerenyit menahan rasa sakit, ketika Pembaruan memintanya untuk coba mengambil posisi duduk.

Dengan nada sedih dan lirih, sambil meneteskan air mata, Ny Emi menuturkan bahwa ia pasrah dengan keadaannya. Penderitaannya yang tak kunjung sembuh itu ia anggap sebagai takdir yang mungkin ada hikmah.

“Saya tidak bisa mempersalahkan anak saya karena mereka juga susah. Saya sendiri pasrah sambil menunggu ajal,” ungkapnya.

Keperihatinan hidup Ny Emi yang berada di tengah orang berada secara ekonomi di Kompleks Perumahan Ciceri Permai, Kota Serang itu, memang sebuah ironi besar. Tak satu pun warga setempat yang merasa tersentuh dengan penderitaan Ny Emi. Bahkan lebih ironis lagi, petugas RT setempat tidak merasa tergugah untuk mendaftar Ny Emi sebagai penerima atau resipien KKB.

Ketika ditanya tentang program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM) berupa bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per KK miskin per bulan, Ny Emi mengaku sama sekali tidak tahu.

“Saya tidak pernah dikunjungi oleh petugas RT. Saya sama sekali tidak tahu soal bantuan kompensasi BBM itu. Kalau memang pemerintah di sini ingat saya dan mau memperhatikan saya, silakan. Kalau pun tidak mau mempedulikan saya, saya pasrah. Mungkin Tuhan menghendaki saya seperti ini,” kata Ny Emi dengan nada terbata-bata.

Ketika dimintai konfirmasi, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Serang, Dodo Sarwanto kepada Pembaruan, Senin (10/10) mengungkapkan data yang diolah oleh BPS merupakan data yang diberikan oleh masing-masing RT di semua kelurahan/desa.

“Data KK miskin yang kami pakai adalah data atas rekomendasi petugas RT, karena mereka yang mengetahui secara persis kehidupan warganya. Kalau ternyata ada KK miskin yang sebenarnya layak untuk mendapat KKB, kami akan melakukan penelitian dan pencocokan ulang,” ungkap Dodo.

Dodo mengungkapkan berdasarkan data yang ada, terdapat 86.757 KK miskin yang akan menerima KKB guna mendapat bantuan langsung tunai. Ia mengatakan KK miskin itu tersebar di 371 desa/kelurahan dan 6.122 RT.

“Data yang kami terima itu sebelum dilakukan pencocokan dan penelitian ulang. Namun setelah kami lakukan pencocokan, sebanyak 500 KK yang dinyatakan tidak layak menerima KKB. Kendati demikian, petugas RT justru mengusulkan daftar nama baru sebanyak 500 KK juga. Kami sedang melakukan penelitian ulang,” ujarnya.

Menurut Dodo, penelitian dan pencocokan ulang data KK miskin itu memang sulit karena tersebar di semua kecamatan, desa dan RT. Sementara itu, jumlah petugas BPS yang bekerja sangat terbatas. Jadi, wajar jika ada yang luput dari pendataaan.

“Semuanya tergantung petugas RT dan desa/kelurahan. Jika petugas RT-nya tidak teliti dan tidak obyektif, maka data BPS juga akan sama seperti itu,” ungkapnya.***

Tidak ada komentar: