18 November 2007

Mendambakan Terwujudnya Pendidikan yang Membebaskan

[Refleksi Soal Pendidikan di Indonesia]

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

Seorang ahli poling dan riset terkenal Samuel Lubell pernah berdebat dengan seorang filsuf dan fotografer Birmingham Alabama, Rick Garlikov tentang topik pedagogi khususnya mengenai pentingnya subyek pengetahuan dan teknik pengajaran. Lubell memulai dengan suatu pernyataan: “there's a reason why teachers need courses in teaching that are separate from their courses in English or mathematics. And when people are brought into the classroom without this training, their subject matter knowledge doesn't help them."

Menanggapi pernyataan Lubell itu, Garlikov mengatakan: "you are assuming nothing can be learned, and no skills developed, without a course that is taught by someone else. That is often not true. My point is not that all people with knowledge can teach; but that those who can, and who can demonstrate they can, should not have to take courses in order to begin a teaching career."

Lubell kembali menyerang Garlikov dengan menjelaskan: “of course, ideally a teacher should have extensive subject matter knowledge, the ability to emphasize [empathize] with others, and training in teaching methods. However, a very skilled teacher could teach a course in something he or she knows little about, by requiring students to go out and do their own research and teach the teacher."

Namun Garlikov dengan tegas mengatakan: "if this is teaching, we don't need schools; just libraries and assignments. I thoroughly disagree with this. It is NOT teaching."

Membaca dialog di atas, kita mungkin akan terbawa pada diskusi tentang pentingnya pendidikan untuk memperoleh pengetahuan. Samuel Lubell berpendapat seorang guru (pengajar) harus mendapat pendidikan tentang teknik mengajar agar bisa mengajar sehingga anak didik bisa terbantu untuk memperoleh pengetahuan. Tanpa pengetahuan tentang tata cara mengajar, seorang guru tidak mungkin bisa mengajar dengan baik anak didik atau muridnya.

Namun, bagi Rick Garlikov apa yang dikatakan oleh Samuel Lubell itu memang sudah dipahami dan sudah dipikirkan oleh semua orang. Rick lebih jauh menilai, seseorang bisa mengajar tanpa harus mengkuti pendidikan tentang tata cara mengajar. Seseorang bisa saja melakukan sesuatu tentang apa yang dia miliki tanpa harus memiliki pengetahuan tentang teknik mengajar.

Perdebatan Lubell dan Garlikov terjadi karena masing-masing mereka melihat pengajaran itu secara berbeda. Lubell mereduksi pengajaran atau pekerjaan mengajar yang dilakukan guru itu khusus pada pendidikan formal. Karena itu seorang guru harus dibekali dengan pengetahuan tentang mengajar. Namun, Garlikov tidak menilai tugas mengajar itu hanya dilakukan guru. Tugas itu bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa harus mendapat keterampilan mengajar lewat pendidikan formal. Garlikov di sini mencoba untuk melihat pendidikan itu secara komprehensif, baik formal, informal maupun nonformal.

Namun demikian, keduanya melihat pendidikan formal itu sangat penting. Kendatipun masih ada pola pendidikan lainnya yang juga tidak kalah pentingnya.

Berbicara tentang pendidikan, kita teringat seorang penulis dan pejuang terkenal yakni Paulo Freire. Paulo Freire mulai terkenal luas ketika ia menulis buku: Pedagogy of the Oppressed (1972) yang cukup berpengaruh terhadap perubahan sosial politik di Amerika Latin. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang itu, kemudian tersebar luas ke beberapa negara seperti Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Asia. Di Indonesia, hasil karya Paulo Freire itu dikemas dengan judul: Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES:1985).

Dalam karya lainnya: Pedagogy of the City, Paulo Freire menggambarkan keterpurukan dunia pendidikan di Brasil pada awal dasawarsa 1990-an. Jutaan penduduk Berasil tidak bisa melanjutkan pendidikan anak-anaknya karena terbelenggu oleh biaya pendidikan yang semakin melejit. Orang-orang yang bertahan di sekolah adalah orang-orang yang berasal dari kelas elit yang tidak mengalami kesulitan dengan keuangan. Akibatnya, banyak sekolah yang kosong karena ketiadaan siswa. Jumlah gedung sekolah yang layak pakai pun semakit merosot. Selama dasawarsa tahun 1990-an itu sekitar lima puluh bangunan sekolah yang mengalami rusak parah, dan aliran listrik terputus.

Paulo Freire juga menyoroti sistem kurikulum yang diterapkan di sekolah-sekolah. Ia menilai kurikulum pendidikan terkesan menciptakan jurang pemisah di antara komunitas kelas, yang mayoritas datang dari pekerja miskin. Misalnya, evaluasi terhadap siswa berpedoman pada intelektualitas, yang mewajibkan membaca buku-buku. Padahal mereka lebih banyak bergaul dengan realitas konkret daripada bergumul dengan buku-buku yang sulit didapatkan.

Situasi itulah yang memicu Paulo Freire untuk mengubah peran sekolah-sekolah negeri di Brasil. Ia menilai, sekolah negeri yang sebenarnya bisa dijadikan wadah untuk mengakomodasi kaum tertindas dan miskin namun kenyataan sebaliknya dijadikan tempat yang aman bagi kelompok kaya. Karena itu ia menegakan program pendidikan progresif. Pendidikan progresif dibangun oleh Freire untuk dijadikan medium pendidikan kesadaran kritis, di mana para siswa berani membuka mulut, mengasah pikiran, dan mampu menuangkan daya pikirnya untuk melahirkan karya-karya kreatif dan cerdas.

Bagi Freire, kurikulum yang diterapkan di sekolah, prasarana gedung-gedung sekolah, sarana belajar, pengajar, merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam mendukung program pendidikan progresif. Ia menilai pendidikan harus dapat dijadikan sebagai alat pembebasan yang meletakan manusia pada martabat kemanusiaanya. Karena itu pendidikan harus ditempatkan dalam konfigurasi memanusiakan manusia, yang merupakan proses tanpa henti dan berorientasi pada pembebasan manusia. Pendidikan juga harus melepaskan diri dari hegemoni dan dominasi, sebab kalau tidak, pendidikan tidak akan pernah mampu membawa rakyat pada pemahaman diri dan realitasnya secara utuh. Sebaliknya ia akan membawa rakyat pada situasi beku dan miskin kreativitas. Pendidikan pembebasan merupakan pengukuhan manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan berpotensi man of action.

Apa yang digambarkan oleh Paulo Freire di Brasil pada dasawarsa 1990-an kini sedang terjadi di Negara Republik Indonesia. Setiap tahun ajaran baru, para siswa dan orangtua menjerit karena mahalnya biaya sekolah. Selain itu, banyak gedung sekolah yang tidak layak pakai terdapat di mana-mana bahkan di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota Negara RI, DKI Jakarta. Sebuah ironi besar, di era setengah abad lebih Indonesia merdeka, wajah pendidikannya masih buram. Angka putus sekolah semakin bertambah, penggangguran semakin meningkat, dan jumlah penduduk buta aksara tidak mengalami penurunan yang signifikan.

Abdul Malik Fadjar pada saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional pernah mengatakan bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia berbanding terbalik dengan perubahan yang terjadi di luar. Perubahan di luar jauh lebih cepat dibandingkan dengan di dalam dunia pendidikan itu sendiri. Manajemen pendidikan pun masih terkesan kaku dan tidak sepenuhnya menyenangkan bagi peserta didik.

Malik Fadjar mengakui ada tiga tantangan besar dunia pendidikan ke depan yakni, bagaimana agar hasil yang telah tercapai selama ini tidak hilang; tantangan berat di era globalisasi; dan tantangan untuk demokratisasi dan ekonomi.

Bahkan Malik Fadjar mengkhawatirkan output dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat melihat realitas yang ada di masyarakat karena apa yang didapat di kelas sudah telanjur basi.

Untuk menepis pesimisme itu, pemerintah mengupayakan pendidikan yang berbasiskan broad base education atau pendidikan berbasis masyarakat luas, dengan berbagai pendekatan seperti pendidikan luar sekolah, pendidikan dasar menengah, dan perguruan tinggi. Aksentuasi dari pendidikan semacam ini terletak pada upaya pemberian life skills dan school for work. Untuk mendukung program ini, salah satu upaya yang dilakukan adalah penerapan kurikulum berbasis kompentensi (KBK) yang hasilnya belum terlihat.

Harus diakui, sudah setengah abad lebih dunia pendidikan bangsa kita masih diselimuti kabut tak ubahnya seperti benang kusut. Pendidikan, belum dirasakan oleh masyarakat sebagai alat pembebasan dari kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan. Semakin melangitnya biaya pendidikan, membuat masyarakat miskin hanya bertopang dagu menonton anak-anak orang kaya setiap hari pergi ke sekolah untuk menikmati pendidikan. Pendidikan seakan menjadi milik anak-anak orang berduit saja. Lalu, amanat UUD 1945 Pasal 31 yang menyatakan semua warga negara berhak dan wajib mendapat pendidikan dan pengajaran hanya sebuah hiburan kosong atau mimpi belaka (utopia)?

Lalu di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Yusuf Kalla, upaya untuk memberikan perhatian yang serius demi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia terus digulirkan. Pendidikan gratis untuk anak sekolah dasar (SD) melalui program Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) yang diberikan melalui program beasiswa untuk anak dari keluarga miskin yang mampu secara akademis mulai dicanangkan. Pertanyaannya, bagaimana upaya meminimalisasi terjadinya penyelewengan dan penyimpangan dalam implementasi program itu sehingga tujuannya bisa tercapai? Lalu bagaimana dengan program KBK yang belum diimplementasikan di semua sekolah di Indonesia?

Dambaan atau cita-cita untuk terwujudnya pendidikan yang membebaskan memang harus diakui masih jauh dari panggangan api. “Mau pintar kok mahal,” adalah sebuah selentingan yang patut dijadikan bahan permenungan oleh seluruh elemen bangsa ini. ***


Tidak ada komentar: