18 November 2007

Biodiesel sebagai Bahan Bakar Alternatif untuk Mengatasi Masalah Energi Nasional

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

KRISIS dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri akhir-akhir ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk mencari solusi dengan mengupayakan pemberdayaan sumber energi alternatif yakni biodiesel sebagai bahan bakar alternatif nasional. Biodiesel merupakan bahan alternatif minyak diesel yang berasal dari tumbuhan. Biodiesel sebagai energi alternatif memang bukan hal baru lagi, sebab di negara lain seperti Malaysia sudah lama menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar aternatif.

Namun, selama ini di Indonesia pemanfaatan biodiesel terkesan masih asing karena kurangnya dukungan pemerintah untuk menggali dan memberdayakan potensi energi alternatif yang ada di Indonesia itu. Persoalan muncul ketika energi fosil semakin langka dan kebutuhan BBM dalam negeri semakin meningkat. Sementara untuk kebutuhan dalam negeri, BBM harus diimpor dari luar. Padahal, sebelumnya Indonesia dikenal sebagai pengekspor minyak namun kini sudah terbalik, Indonesia menjadi importir terbesar untuk energi fosil.

Padahal, jika disimak secara mendalam, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) yang sejak tahun 1957 berada dibawa binaan Departemen Pertanian telah menangani berbagai penelitian salah satunya adalah penelitian komoditas kelapa sawit nasional melalui unit kerjanya Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan.

Bahkan sejak abad XX, PPKS telah menghasilkan berbagai teknologi hulu dan hilir di bidang perkelapasawitan nasional, salah satunya adalah penghasil klon-klon unggul dan bahan tanaman secara luas yang saat ini dinikmati oleh pengelola perkebunan kelapa sawit. Selain itu, dalam rangka mengembangkan dan memperluas industri kelapa sawit nasional, PPKS sejak tahun 1992 telah secara khusus mengembangkan biodiesel minyak sawit (BMS) yang diuji coba sejak tahun 2001, untuk bahan bakar mesin-mesin pertanian dan angkutan barang bersamaan dengan diadakannya seminar internasional biodiesel di Medan. Kemduan pada akhir tahun 2004 lalu, telah dilakukan road test Medan-Jakarta dengan menggunakan BMS B10 (campuran 10 persen BMS dan 90 persen solar) pada kendaraan truk dan penumpang dengan hasilnya yang mengembirakan.

Jika dilihat perkembangan teknologi biodiesel ini, memang harus diakui telah cukup lama dilakukan di Indonesia antara lain dilakukan oleh Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), perguruan tinggi seperti ITB, dan PPKS. Para pelaku dan peminat biodiesel ini sudah membentuk forum tersendiri yakni Forum Biodiesel Indonesia (FBI).

Berbagai penelitian telah diujicobakan, serta kajian kebijakan sebagai persiapan dalam menghadapai tahapan persiapan komersialisasi BMS telah dilaksanakan. Berdasarkan berbagai kajian dan penelitian yang ada, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan bakar alternatif BMS sudah saatnya mulai dikembangkan di Indonesia. Biodiesel sebagai substitusi solar semakin terbuka untuk dikembangkan ketika BBM semakin langka dan harganya semakin mahal di Indonesia. Karena itu pemanfaatan BMS sebagai energi alternatif nasional perlu dipercepat mengingat potensinya sangat prospektif dan menjanjikan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Dr Ir Achmad Suryana MS dalam acara penyerahan bantuan berupa 3.000 liter BMS sebagai uji coba kepada nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) II Teluk Labuan, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, melalui Bupati H A Dimyati Natakusumah, Kamis (11/8) lalu menjelaskan sejalan dengan program pemerintah dalam mendibersifikasi sumber energi dengan energi yang terbarukan, maka pemanfaatan biodiesel perlu dipercepat. Dikatakan bahwa dalam blue print pengelolaan energi nasional, yang dibahas dalam sidang cabinet 3 Mei 2005 lalu ditetapkan bahwa target energi terbarukan tahun 2005 sebesar 10 persen dari total energy mix, dan 1,336 persen di antaranya dari biofuel seperti biodiesel dan bio ethanol.

“Target pemakaian biodiesel untuk tahun 2010 sebesar 0,72 juta kilo liter, tahun 2015 sebanyak 1,5 juta kilo liter dan pada tahun 2025 sebanyak 4,7 juta kilo liter. Untuk merealisasikan target ini diperlukan program yang terintegrasi dari seluruh stakeholder biodiesel,” jelas Achmad.

Ia mengatakan pemberian bantuan BMS kepada nelayan di Labuan, Pandeglang itu merupakan bagian dari implementasi program revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan (RPPK) yang sudah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Juni 2005 lalu di Kompleks PT Jasa Tirta II Jatiluhur, Jawa Barat. RPPK merupakan salah satu dari triple track strategy Kabinet Indonesia Bersatu dalam rangka pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran serta peningkatan daya saing ekonomi nasional.

“Pemberian bantuan pemerintah kepada nelayan melalui Departemen Pertanian sebanyak 3.000 liter biodiesel B100 ini merupakan produksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Lembaga Perkebunan Indonesia (LPI). Bantuan biodiesel minyak sawit murni (B100) kepada nelayan ini masih akan diuji kinerjanya pada berbagai motor nelayan dengan kapasitas beragam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui PPKS akan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan uji coba biodiesel tersebut, dan akan memakai data hasil pengujian tersebut sebagai dasar rekomendasi pengembangan biodiesel di kemudian hari. Dalam masa uji coba ini pemakaian BMS sebagai energi alternatif tidak digunakan 100 persen tetapi dicoba secara bertahap yakni mulai dari 10 persen BMS dicampur dengan solar, kemudian ditingkatkan menjadi 20 persen BMS dicampur dengan 80 persen solar sampai pada tingkat campuran 30 persen BMS dan 70 persen solar,” jelasnya.

Menurut Achmad, dalam kondisi Negara kita yang sedang menghadapi berbagai kesulitan dalam masalah energi, biodiesel ke depan akan menjadi sangat potensial sebagai sumber energi alternatif nasional yang ramah lingkungan. Ia menjelaskan, produksi minyak bumi Indonesia yang telah mencapai puncaknya pada tahun 1977 yaitu sebesar 1,7 juta barel per hari terus menurun hingga tinggal 1,125 juta per hari pada tahun 2004. Namun, di sisi lain konsumsi minyak bumi terus meningkat dan tahun 2004 lalu tercatat 1,0362 juta per hari.

“Kondisi ini menyebabkan Indonesia saat ini menjadi Negara net-importer di bidang BBM. Kehadiran teknologi biodiesel diharapkan dapat mengurangi ketergantungan kita pada BBM yang berasal dari fosil yang tidak terbarukan seperti solar, bensin, minyak tanah dan sebagainya. Harga BBM yang semakin hari semakin meningkat mendorong kita untuk mencari sumber energi alternatif yang terbarukan,” jelasnya.

Ia mengungkapkan, sebagai negera penghasil kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia, Indonesia sangat berkepentingan agar dalam waktu dekat BMS dapat menjadi sumber energi nasional. “Kalau kita memperhatikan kecepatan pertumbuhan luas areal kelapa sawit nasional, baik oleh karena perluasan kebun maupun karena peremajaan tanaman tua yang rata-rata sekitar 350 ribu hektare per tahun maka Indonesia ditargetkan memiliki perkebunan sawit lebih dari delapan juta hectare pada tahun 2010. Dampak langsung yang terlihat dari pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit adalah produksi yang akan meningkat secara signifikan,” jelasnya.

Ia berpendapat, untuk mengantisipasi kelebihan pasokan dan penurunan harga crude palm oil (CPO) akibat kelebihan pasokan tersebut, maka diversifikasi produk hilir harus sudah dipikirkan sejak dini. Teknologi biodiesel diharapkan di satu sisi akan menjawab kekhawatiran akan kelangkaan BBM di masa dating, dan di sisi lain dapat memberikan jalan keluar bagi kestabilan harga CPO.

Sementara itu, Kepala Biro Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) Dr Gede Wibawa menjelaskan, keuntungan dalam penggunaan biodiesel yakni tidak perlu modifikasi mesin. Biodiesel bahkan mempunyai efek pembersihan terhadap tangki bahan bakar, injector dan slang. Ia mengatakan bahan-bahan yang kompatibel dengan biodiesel yakni black mild steel, stainless steel, fluorinated polyethylene, dan fluorinated polypropylene.

“Biodiesel dapat mengurangi emisi karbon monoksida, hidrokarbon total, partikel, dan sulfur dioksida. Emisi nitrous oxide juga dapat dikurangi dengan penambahan konverter katalitik. Penambahan 20 persen biodiesel pada petroleum diesel dapat mengurangi emisi partikel sebesar 14 persen, total hidrokarbon sebesar 13 persen, karbon monoksida sebesar 7 persen dan sulfur sebesar 20 persen. Selain itu, biodiesel tidak menambah efek rumah kaca seperti halnya petroleum diesel karena karbon yang dihasilkan masih dalam siklus karbon,” jelasnya.

Gede menjelaskan, untuk harga biodiesel murni sangat tergantung pada harga CPO yang selalu berfluktuasi. Untuk skala besar pada harga CPO US$ 400 per ton, harga biodiesel diperkirakan mencapai sekitar US$ 560 per ton. Sehingga harga B10 (campuran 10 persen biodiesel dan 90 persen solar) menjadi Rp 2.400 per liter.

“Harga sebesar itu tidak terlalu tinggi untuk bahan bakar yang ramah lingkungan,” ungkapnya.***

Tidak ada komentar: