18 November 2007

Penanganan Kasus Pulau Sangiang Lebih Bermotif Character Assasination?

Oleh Elde Domahy Lendong, S.Fil

PENANGANAN kasus dugaan perusakan lingkungan oleh PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) yang kini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Serang kini menemukan sebuah fakta baru. Tuduhan dan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten kepada Direktur Utama (Dirut) PKP Dewanto Kurniawan sebagai penanggungjawab dugaan kerusakan lingkungan Pulau Sangiang ternyata tidak didasarkan bukti yang akurat. Ironisnya, JPU berani menyusun dakwaan tanpa disertai bukti lapangan yang konkret dan riil.

Memang kalau dilihat secara obyektif, penanganan kasus Pulau Sangiang oleh tim penyidik baik oleh Polda Banten maupun Kejati sejak awal terkesan dipaksakan. Hal ini terlihat jelas, dari kronologis penanganan kasus itu. Kasus itu mulai ditangani pihak penyidik dari Kepolisian Wilayah (Polwil) Banten sekarang sudah ditingkatkan statusnya menjadi Polda Banten, sejak tahun 2002 lalu. Pertanyaan yang harus dijawab oleh penyidik yakni mengapa kasus dugaan perusakan lingkungan di Pulau Sangiang itu menyita waktu selama kurang lebih tiga tahun. Apakah pihak penyidik Polda Banten sengaja memperpanjang proses kasus itu, atau memang kasus itu sengaja direkayasa untuk menjatuhkan kredibilitas seseorang atau mungkin mencari keuntungan pribadi penyidik?

Kasus ini menarik untuk dikaji karena obyektivitas penyidik dalam menangani kasus Pulau Sangiang patut dicurigai dan dipertanyakan. Sebab, kasus ini terungkap berawal dari konflik internal antara Direktur Utama Dirut PT PKP Dewanto Kurniawan dan Direktur I PT PKP Edi Gozali. Konflik internal ini mencuat karena persoalan saham di mana Direktur I Edi Gozali meminta untuk dikembalikan sahamnya sebesar 30 persen yang sudah dimasukkan di PT PKP. Sementara Dirut PT PKP Dewanto Kurniawan sendiri hanya memiliki saham 60 persen di PT PKP.

Namun persoalan mengenai saham ini kemudian semakin mengental dan mengerucut ketika pihak Edi Gozali meminta agar sahamnya harus dikembalikan lebih dari 30 persen. Tuntutan dari pihak Edi Gozali ini jelas ditolak oleh pihak Dewanto Kurniawan karena PT PKP sendiri belum berjalan. Selain itu permintaan Edi Gozali itu dinilai tidak memiliki dasar yang cukup kuat sehingga pihak Dewanto menolak untuk membayar saham lebih dari 30 persen itu.

Karena tidak menemukan kata sepakat mengenai saham itu, akhirnya kasus itu dibelokkan oleh pihak Edi Gozali ke isu perusakan lingkungan hidup di Pulau Sangiang yang dituduhkan kepada Dewanto Kurniawan sebagai penanggungjawabnya. Namun, ketika pihak penyidik dari Polda menyelidiki kasus itu, tidak ditemukan cukup bukti sehingga prosesnya menjadi panjang dan berlarut-larut. Anehnya, tuduhan perusakan lingkungan itu hanya ditujukan kepada Dirut PT PKP Dewanto Kurniawan. Sementara perusahaan itu merupakan perusahaan berbadan hukum, di mana penanggaung jawabnya bersifat korporasi atau jajaran direksi. Lebih aneh lagi, Edi Gozali sudah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus yang sama, namun hingga kini berkasnya belum dilimpahkan ke Kejati. Pasalnya, pihak Polda Banten sudah melimpahkan berkas tersangka Edi Gozali itu sebanyak tiga kali, namun Kejati selalu mengembalikannya dengan dalih pihak penyidik Polda belum mampu membuktikan perbuatan materiil tersangka Edi.

Kendati tidak memiliki cukup bukti, pihak penyidik Polda Banten bekerja sama dengan Kejati Banten berani meneruskan kasus itu ke pengadilan. Bahkan, Kejati Banten berani menahan terdakwa Dewanto Kurniawan, dan kemudian ditangguhkan penahanannya oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Serang. Persidangan pun dilakukan di Pengadilan Negeri Serang. Namun, dari seluruh rangkaian proses persidangan itu terlihat jelas bahwa tuduhan telah terjadinya kasus perusakan lingkungan di Pulau Sangiang terkesan dipaksakan. Bahkan pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) berani menyusun dakwaan kepada terdakwa Dewanto Kurniawan hanya berdasarkan keterangan saksi dan tidak meninjau langsung kondisi riil di Pulau Sangiang.

Nuansa rekayasa tuduhan perusakan lingkungan Pulau Sangiang semakin terkuak, ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Serang dibawa pimpinan Husni Rizal SH, bersama JPU Kejati Banten Anawi SH, dan penasihat hukum terdakwa Asfifuddin SH menggelar sidang lapangan kasus Pulau Sangiang Rabu (31/8) lalu. Kejanggalan dan keanehan mulai terlihat, ketika majelis hakim meminta kepada JPU untuk menunjukkan areal Pulau Sangiang seluas 448,93 hektare yang dinyatakan telah mengalami kerusakan sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan JPU. JPU yang diketuai oleh Asnawi SH, terlihat bingung untuk membuktikannya di lapangan, karena dia sendiri dalam menyusun dakwaan itu tidak pernah melakukan peninjauan langsung kondisi lapangan di Pulau Sangiang. Lebih memalukan lagi, ketika majelis hakim meminta kepada JPU untuk menunjukkan lokasi atau titik di areal yang dikelola oleh PT PKP yang dituduh telah mengalami kerusakan. Jaksa Asnawi malah meminta kepada salah seorang petugas Polisi Kehutanan (Polhut) yang bertugas di Pulau Sangiang untuk menunjukkan lokasi yang dimaksudnya. Namun, salah seorang Polhut Adang Santawi menegaskan bahwa pihaknya bekerja di Pulau Sangiang sejak tahun 1986, namun pihaknya belum pernah melihat adanya kegiatan yang merusakan lingkungan di Pulau Sangiang.

“Selama saya bekerja di Pulau Sangiang, saya belum pernah melihat kegiatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan oleh PT PKP. Namun, karena saya diminta untuk menunjukkan lokasi yang diduga telah terjadi kerusakan lingkungan, saya bersedia mengantarnya,” jelas Adang.

Berdasarkan hasil peninjauan bersama wartawan di Pulau Sangiang, tidak ditemukan satu pun bukti sebagaimana yang didakwakan JPU dalam dakwaannya terhadap terdakwa Dewanto Kurniawan. Dalam dakwaan JPU dikatakan bahwa akibat pembangunan yang dilakukan oleh PT PKP, telah terjadi kerusakan lingkungan di Pulau Sangiang berupa pengerukan terumbu karang yang menggunakan alat berat, penebangan pohon cemara laut, penghancuran bukit dengan menggunakan alat peledak, dan pembangunan jalan dengan menggunakan terumbu karang. Semua dakwaan JPU sama sekali bertentangan dengan kondisi riil di Pulau Sangiang. Situasi di Pulau Sangiang, tidak ada yang luar biasa.

Kalau kita kaji secara obyektif, penanganan kasus perusakan lingkungan di Pulau Sangiang, Serang, Banten semakin kasat mata terlihat dipaksakan untuk diproses secara hukum. Sepintas, terkuak kesan pihak penegak hukum sengaja mempermainkan kasus ini sehingga terlihat indikasi ketidakadilan dalam menegakan supremasi hukum dalam penanganan kasus itu.

Penasihat hukum terdakwa Asfifuddin SH, kepada Pembaruan, Minggu (5/9) menegaskan bahwa tuduhan JPU terhadap kliennya telah melakukan perusakan lingkungan di Pulau Sangiang secara berencana terkesan mengada-ada, dan tidak berdasar. Sebab, semua tuduhan atau dakwaan itu tidak disertai dengan bukti yang konkret di lapangan.

“JPU dan majelis hakim sudah mengikuti sidang lapangan. JPU sendiri tidak mampu membuktikan kerusakan yang dituangkannya dalam dakwaan. Jadi terlihat jelas bahwa pengusutan kasus dugaan perusakan lingkungan di Pulau Sangiang lebih bermotif kepentingan dan mau membunuh karakter (character assasination) terdakwa Dewanto Kurniawan. Karena itu kami meminta kepada majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dari segala dakwaan tuntutan JPU, sebab dakwaan JPU itu tidak berdasarkan bukti yang kuat dan meyakinkan,” tegas Asfifuddin.

Menurut Asfifuddin, jika dilihat dari logika bisnis, tuduhan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh Dewanto Kurniawan sebagai Dirut PT PKP sangat irasional sebab, Dewanto berani menanamkan sahamnya di PT PKP untuk mengelola Pulau Sangiang karena nilai jual kawasan itu terletak pada keindahan alamnya.

“Lebih ironis lagi terdakwa didakwa telah melakukan perusakan lingkungan secara berencana sehingga menyebabkan areal seluas 448,93 hektare di Pulau Sangiang mengalami kerusakan yang cukup parah. Luas sebesar itu dihitung dari mana. PT PKP baru memulai pembangunan di areal seluas 15 hektare, namun karena dihamba oleh krisis moneter pada tahun 1998 lalu, pembangunan itu tidak bisa dilanjutkan. Selain itu, izin yang diberikan kepada PT PKP hanya lahan seluas 500 hektare. Kita patut pertanyakan kualitas kinerja JPU Kejati Banten itu,” tegasnya.

Berdasarkan pengamatan Pembaruan di lapangan, dakwaan JPU bahwa telah terjadi perusakan terumbu karang akibat dikeruk oleh PT PKP dengan menggunakan alat berat begu. Namun di lokasi yang ditunjuk JPU yakni di Blok Raden Pulau Sangiang, memang terlihat tumpukan terumbu karang mati, namun tumpukan terumbu karang itu terjadi akibat hempasan ombak. PT PKP justu telah melakukan upaya pencegahan dampak abrasi dengan menanamkan tiang kayu sepanjang pesisir pantai di lokasi itu. Hal yang sama di Blok Mandi, tidak ditemukan adanya bukti penebangan pohon cemara laut sebagaimana didakwa oleh JPU. Demikian juga di Blok Penyampitan dimana didakwa telah terjadi peledakan bukit dengan menggunakan alat peledak juga tidak ditemukan bukti.

Kondisi riil di lapangan itu membuat tabir kebenaran dan motif penanganan kasus penannganan kasus perusakan lingkungan di Pulau Sangiang terkuak. Quo vadis kasus Pulau Sangiang.***

Tidak ada komentar: